HIKMAH AL-ISRAQIYAH: MENTELAAH SISI EKSISTENSIALISME TEOSOFI TRANSENDEN MULLA SADRA

Piramida pengetahuan menggambarkan bahwa pemikir yang datang kemudian bertumpu kepada perolehan pemikir-pemikir sebelumnya. Mulla Sadra, pendiri mazhab ketiga dalam pemikiran filsafat Islam, jelas mengatasi pemikiran filsafat Peripatetik Ibnu Sina dan mazhab yang kedua. Dari jurusan ini kelihatan bahwa existensialisme Mulla Sadra yang berciri dasar tauhid perjalanan mental dari makhluk menuju Tuhan, sifat-sifat keilahian bersama Tuhan dalam Tuhan, perbuatan ilahi dari Tuhan menuju makhluk dan tentang jiwa dan tujuannya dalam makhluk bersama Tuhan, menggabungkan tradisi pencarian filsuf-filsuf Muslim sebelumnya.

Keyword: Filsafat, Eksistensialisme, teosofi, tasauf


A. SEKILAS TENTANG MULLA SHADRA

Informasi yang faktual tentang kehidupan Mulla Shadra sangat jarang. Ia dilahikan di Syiraji. Ayahnya adalah Ibrahim Ibn Yahya. Athun lahirnya tidak diketahui. Ia datang ke Isfahan pada usia yang masih sangat muda dan belajar pada teolog Baha’uddin al-‘amali (w. 1031 H/1622 M) lalu pada filosof peripatetik Mir Fenderski (w. 1050 H/1641 M) namun gurunya yang utama adalah teolog filosof, Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M) Damad nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas, namun sayangnya belum ada ahli modern yang mengkajinya. Tampkanya, ketika filosof yang bernama Muhammad dan bergelar Sharuddin dan lebih dikenal dengan nama Mulla Shadra atau hanya Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan yang umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12 M, Suhrawardi telah melakukan kritik terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang meletakkan dasar-dasar bagai filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq) yang kemudian memperoleh sejumlah pengikut.

Dalam latar belakang yang demikian itulah sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang kelihatannya benar-benar berbeda dari situasi intelektual dan spiritual pada masanya. Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain oleh kenyataan bahwa ia dikatakan meninggal pada 1050 H/1641 M di Basrah, saat berangkat ke Makkah untuk menunaikan haji, atau kembali darinya untuk yang ketujuh kalinya. Usianya diperkirakan tujuh puluh atau tujuh puluh satu tahun.

B. PERSPEKTIF EKSISTENSIALISME DALAM BANGUNAN FILSAFAT

Term wajd dalam bangunan tasawuf klasik erat kaitannya dengan ekstase. Ekstase spiritual datang kedalam hati secara tak terduga-duga. Mereka yang mengalaminya tak lagi menyaksikan dirinya sendiri dan orang lain. Kemabukan datang melalui energi spiritual yang teramat dahsyat yang turun kepada seorang hamba, menyelimuti indra-indra dan menyebabkan reaksi-reaksi fisik yang hebat. Kemabukan menguasai tubuh, pikiran dan hati.1 barangkali itulah menurut asumsi penulis akar pemikiran Mulla Sadra dalam merespon persoalan wujudiyah yang bisa diartikan menemukan.2

Selanjudnya dalam analisa terminologi dapat diketemukan bahwa Wujud berarti keberadaan yang mempunyai tingkat abstraksi yang tinggi. Dengan demikian dapat dibedakan menurut dimensi masing-masing, bahwa wajd sarat dengan pergumulan tasawuf, sementara wujud merupakan titik tolak dari filsafat3 yang sering dibahas dalam diskursus kalam dan filsafat Islam sebagai mazhab wujudiyah (existensialism).4

Bangunan teori wujud dan teori kemungkinan esensial serta kemungkinan eksistensial telah banyak disinggung oleh Muhammad Baqir al-Shadr (salah seorang murid Mulla Sadra).5 Seluruh bangunan pemikiran filsafat ini muncul dari refleksi dan renungan Shadr al-Dien Muhammad al-Syirazy yang populer disebut Mulla Sadra, dan dalam beberapa manuskrip Persia, tulisannya diketemukan sebagai bassi-basis shadariyah. Mulla Sadra membahasnya secara tuntas dalam magnum opusnya al-Hikmah al-Muta’aliyah Fi’al-Asfar al-Aqliyah al-Arba’ah.6

Bila ditelusuri bangunan pemikiran filsafat wujudiyah di atas, ternyata memiliki mata rantai dengan arus isyraqiyah yang dilepas oleh al-Suhrawardi al-Maqtul secara tipikal sarat dengan pergumulan pemikiran Syi’ah. Diantara para filososf yang merespon dan melanjutkan perspektif Isyraq diatas antara lain ; Mir Damad (w. 1631), baha’ al-Dien ‘Amili (w. 1621), keduanya merupakan tokoh yang amat terkenal dalam periode safawi, Shadr al-Dien al-Syirazy (w. 1641) yang populer disebut dengan Mulla Sadra, dan diproklamirkan sebagai seorang filosof terbesar di zaman modern Persia.7 Nama terakhir inilah yang ingin ditelusuri bangunan pemikirannya dan terutama filsafat Wujudiyah (eksistensialisme) dalam makalah yang sangat elementer ini.

Mulla Sadra secara meyakinkan membangun pemiirannya melalui pendekatan sintesis; antara al-isyraq (illuminatif), massya’i (peripatetik), ‘irfan (gnosis), dan kalam (teologi). Semua bangunan pemikiran di atas menjadi karakteristik setting pemikiran Isfahan pada zaman Safawi. Titik puncak pemikirannya terletak di tangan Muhammad Sadaruddin al-Syirazi, atau Sadr al-Muta’allihin, yang sangat populer di kalangan filosof.8 Keberadaaanya sarat sebagai seorang ilmuwan yang lengkap perhatiannya terhadap keilmuan telah dibuktikan dengan menulis beberapa manuskrirp, disamping mengajar para muridnya, yang ia tulis tidak kurang dari tiga puluh tahun, dan karyanya tidak kurang dari tiga puluh buku;9 komentar terhadap al-Hikmah al-Isyraqiyah, tulisan Suhrawardi, al-Hidayah fi al-Hikmah, oleh Atsiruddin al-Abhari, al-Syira’, oleh Ibnu Sina. Selain itu banyak karya beliau yang orisinil antara lain: Al-Hikmah al-Muata’liyah (kebijakan atau filsafat transendental-transendental Theosophy), yang sering disebut dengan Kitab al-Ashfar al-Arba’ah. Buku terakhir ini merupakan karya yang sangat monumental karena risalah-risalahnya yang lain dibangun diatas pemikiran buku tersebut.10 Ia menghabiskan umurnya untuk menulis beberapa manuskrip serta melatih (mengajar) beberapa muridnya yang datang dari berbagai wilayah: Afrika Utara, Tibet, dan sebagian negeri Arab. Dan akhirnya ia meninggal pada tahun 1050/1640 ketika kembali dari perjalanan haji yang ketujuh yang ia tempuh dengan perjalanan kaki.

Dalam mazhab Mulla Sadra, banyak titik perselisihan antara peripatetic dan illuminasi, filsafat dan irfan, atau filsafat dan kalam, yang belum menemukan penyelesaiannnya. Namun demikian, filsafat Mulla Sadra bukan sebuah sistem filsafat yang sangat unik, sekalipun berbagai metode pemikiran Islam memberi pengaruh pada konstruksinya, harus diakui sebagai mazhab yang berdiri secara independen.11

Dalam mazhab Isfahan, Mulla Sadra tercatat sebagai tokoh, filosof yang sangat tersohor, kepopulerannya ditandai oleh kepiawaiannya dalam menguasai ringkasan pemikiran filsafat Islam yang berkembang dalam rentang waktu 900 tahun dengan pendekatan sintesis akhir berbagai mazhab filsafat dan teologi Islam (alam).

Bertumpu pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, ucapaan-ucapan para penguasa sebelumnya, termasuk filsafat peripatetik, iluminatif, kalam sunni dan syi’i serta mazhab gnosis, Mulla Sadra membuat sistesis secara menyeluruh yang selanjutnya dikenal dengna teosofi transedenden (al-hikmah al-muta’aliyah). Mulla Sadra merasa yakin bahwa ada tiga jalan terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan; wahyu, akal dan intelektual (‘Aql) dan visi batin atau pencerahan (kasyf). Dia berusaha merumuskan sebuah ‘kebijaksanaan’ sehingga manusia mampu mengambil manfaat dari ketiga sumber tersebut.12

C. MULLA SADRA DAN EKSISTENSIALISME

Dalam pergumulan filsafat Barat, filsafat muncul karena suatu krisis, dan krisis berarti penentuan. Atau dengan bahasa lain, kehadiran filsafat merupakan bentuk krisis ke krisis yang lain. Perkembangan selanjutnya, kehadiran eksistensialisme sebagai alternatif dalam mengatasi krisis yang dikapling oleh materialisme dan idealiseme, maka eksistensialisme adalah cara orang ‘berada’ di dunia. Kata berada pada manusia tidak sama dengan beradanya pohon atau batu, dan yang dapat menjelaskan secara filosofis adalah aliran eksistensialisme.13 Bentuk reaksi ini dicetuskan oleh tokoh dari Denmark Soren Kierkegaaard, menurutnya. “Filsafat tidak merupakan suatu sistem, tetapi suatu pengekspresian eksistensi individual”.

Karena manusia merupakan pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apapun keputusan yang diambil tak pernah mantap dan sempurna, dan ingin selalu eksis. Yes, I Percieve perfecly that there are two possibilities, one can do either this or that (Ya, sejak semula saya menyaksikan bahwa ada dua kemungkinan, seorang hanya bisa melakuan apakah ini ataukah itu).14

Tokoh lain, Jean Paul Sartre (1905-1980) mengatakan; bahwa eksistensi manusia mendahuli esensinya. Pandangan ini amat janggal, sebab biasanya sesuatu itu harus ada esensinya terlebih dahulu sebelum keberadaannya. Filsafat eksistensialisme membicarakan cara berada di dunia ini, terutama cara berada manusia. Dengan kata lain, filsafat menempatkan cara wujud-wujud manusia sebagai tema sentral pembahasannya. Cara ini hanya inheren dengan manusia karena manusialah yang bereksitensi. Binatang, tetumbuhan, bebatuan dan lain-lain memang ada, tetapi keberadaan mereka tidak dapat disebut bereksistensi.15 Agar tidak membengkak pada diskursus eksistensialisme secara umum, selanjutnya akan dikaji secara khusus pemiiran eksistensialisme Mulla Sadra.

Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang sama, memunculkan prestasi lain yang juga bersifat fundamental seperti prestasi sebelumnya. Seperti munculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam, yang secara resmi di sebut dengan ashalat al-wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah Shadr al Dien Syirazi (Mulla Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat (al-Hikmat al-Muta’aliyah).16

Mulla Sadra disebut-sebut sebagai pendiri mazhab ketiga yang utama. Mazhab utama pertama adalah mazhab Peripatetik dengan eksponen terbesarnya dalam dunia Islam adalah Ibnu Sina, yang lainnya adalah mazhab Illuminatif (al-hikmah al-isyraqiyah/al-khalidah) yang dibangun oleh Suhrawardi al-Maqtul. Mulla Sadra juga mengadopsi prinsip-prinsip tertentu dari masing-masing mazhab, seperti hylomorphism dari Peripatetik, gradasi wujud dan pola-pola surga (celestical archetyupes) dari mazhab illuminasi. Bahkan ia mengadopsi prinsip-prinsip tertentu dari ajaran-ajaran sufi Ibnu Sina. Keselarasan dan keteraturan substansi dunia yang sebelumnya tidak pernah nampak sebagai prinsip beberap mazhab hikmat, dan tidak pernah dibangun secara sistemik dalam bahasa yang logis oleh hikmawan sebelum Mulla Sadrra. Oleh karenanya, layak disebut sebagai pendiri hikat yang orisinil dan relatif baru dalam pergumulan filsafat Muslim dengan al-Hikmah al-Muta’alliyah-nya yang berbeda dengan al-hikmah al-masya’iyyah-peripatetik philosophy serta al-hikmah alisyraqiyyah-illuminasionist theosophy.17

Bila dilacak lebih jauh, bangunan dokrin Mulla Sadra terbagi menjadi tiga bagian mendasar, yaitu; Pertama: Filsafat Peripatetik Muslim, terutam Ibnu Sina. Lewat Ibnu Sina ia mengambil filsafat Aristoteles, Neo-Plationis dan beberapa doktrin filsafat Aristoteles. Kedua: Teosofi Isyraqi Suhrawardi dan beberapa komentatornya seperti Qutub al-Din al-Shirazi dan Jalal al-Din al-Diwani. Ketiga: Doktrin-doktrin gnosisi Ibnu Arabi dan beberpa ekspositor seperti Sadr al_Din al Qunawi, ‘Ain Qudlat al-Hamdani dan Mahmud Shabistart. Keempat : Wahyu Islam, khususnya ajaran-ajaran khusus dari Nabi dan Imam-imam Syi’ah dalam bagianbagian Nahj al-Balaqhah.18

Untuk membidik pemikiran Mulla Sadar perlu dikedepankan terlebih dahulu hukum kausalitas sebagai hubungan antara dua wujud, sebab akibat. Ia merupakan bangunan hubungan antara dua hal. Hubungan ini memiliki ragam dan corak.19 Pembaca berhubungan dengan buku yang dibacanya, hingga berhubungan dengan rantai besi yang digantungkan di lehernya; demikian halnya dengan semua hubungna diantara segala sesuatu. Dilihat dari perspektif Wujudiyah, keduanya memiliki wujud partikulatif yang mendahului hubungannya dengan yang lain. Jadi kausalitas menurut watakd asarnya menghendaki agar akibat tidak memiliki realitas sebelum ia berhubungan dengan sebabnya. Kalau tidak demikian tentu bukan akibat, tidak memiliki realitas, kecuali berhubungan dengan sebab dan bergantung pada sebab itu sendiri.

Bila ditelusuri lebih dalam bahwa misteri dari realitas-realitas eksternal akan sebab bukannya mengada-ada, bukan pula kemungkinan esensi. Tetapi misteri itu tersembunyi di dalam strukur eksistensial dan di kedalaman maujud. Realitas luarnya adalah hubungan itu sendiri. Sedangkan hubungan mustahil tidak membutuhkan sesuatu yang dengannya ia berhubungan. Pada waktu yang sama kita menemukan jika realitas luar bukan realitas hubungan, maka prinsip kausalitas tidak berlaku padanya. Jadi, wujud luar sebagai suatu keseluruhan, tidak diatur prinsip kausalitas, tetapi prinsip kausalitas menentukan wujud-wujud relasional yang mengungkap realitas hubungan.

Relasi ini bukan terletak pada wujud yang dapat dikuantifikasi. Kebendaan sebagai kebendaan, atau kuantifikasi sebagai kuantifikasi. Pembagian ini menjadi tunggal dan jamak, atau pembagain menjadi pasti dan mungkin-merupakan pembagian maujud qua maujud. Dalam Islam maujud memiliki dataran-dataran atau dunia-dunia tertentu, pada hukama’Islam mempercayai adanya empat jenis alam atau empat kekuatan (nasy’ah) yaitu: pertama; dunia bendawi, atau alam nasut, kedua; dunia ide, atau alam malakut, ketiga; dunia ruh, atau alam jabarut, dan keempat; dunia Ilahi atau alam lahut.

Bahkan Osman Bakar, dengan mengutif konstruksi pemikiran kaum sufi mengemukakan, bahwa mereka memformulasikan doktrin itu dengan sebutan lima keberadaan Ilahiyah (al-hadlarat al-Ilahiyyat al-khams) untuk menggambarkan hirarki seluruh realitas.20 Ketiga keadaan di atas-materil, halus, dan spiritual yang oleh kalangan sufi disebut alam nasut, malakut, dan jabarut, dalam urutan itu juga merupakan tiga keberadaan yang pertam dalam urutan menaik. Tingkat relaitas atau keberadaan yang lebih tinggi dalam hirarki ini adalah alam sifat-sifat Ilahiyah, artinya sifat-sifat Tuhan yang merujuk pada-Nya sebagai Pencipta dan Pemberi Wahyu.

Keadaan keempat, yang disebut lahut, dapat dipersamakan dengan prinsip kreatif atau Wujud. Yaitu prinsip ontologis dari keseluruhan kosmos, dan karena itu merupakan yang absolut terhadap seluruh ciptaan. Keberadaan selanjutnya atau yang tertinggi adalah Esensi Ilahi (al-Dzat). Derajat yang diistilahkan sebagai lahut adalah diri tertinggi dan tak terbatas. Wujud tak tergapai yang merupakan prinsip tidak dapat disifati dan ditentukan. Oleh karena itu ia Absolut Murni.21

Hubungannya dengan teori kausaltias, perlu dikedepankan tentang tematema pokok filsafat Mulla Sadara. Mulla Sadara menyusun topik-topik filosofis mengenai jalan rasional dan intelktual dengan cara yang menyerupai cara kaum ‘urafa menguraikan jalan hati dan jiwa. Sebagaimana dikemukakan oleh Murtadha Muthahhari,22 kaum ‘Urafa’ berkeyakinan bahwa seorang pengembara akan menempuh empat perjalanan jika mengikuti metode kaum ‘arif, yaitu :

1. Perjalanan dari makhluk menuju Tuhan. Pada tingkat ini, si pengembara berusaha lepas dari alam dan dunia-supranatural tertentu agar dapat mencapai Esensi Ilahi, membuka semua hijab antara dirinya dengan Tuhan.

2. Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan. Setelah si pengembara mencapai pengetahuan terdekat dengan Tuhan, dengan bantuan-Nya si pengembara berjalan melalui keadaan-keadaan-Nya, nama-nama-Nya, kesempurnaan-kesempuraan-Nya, dan sifat-sifat-Nya.

3. Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan. Dalam perjalanan ini si pengembara kembali ke dunia makhluk dan bergabung dengan manusia lain. Tetapi kepulangan ini tidak berarti keterpisahan dan kejauhannya dari Esensi Ilahi. Sebaliknya, si pengembara dapat melihat Esensi Ilahi bersama segala sesuatu dibalik segala sesuatu.

4. Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan. Dalam perjalanan ini, si pengembara bertanggung jawab membimbing manusia dan mengarahkan mereka kepada kebenaran.

M.M. Sharif mengemukakan, bahwza bangunan pemikiran tersebut didasarkan pada dua faktor. Pertama, judul kitab al-Asfar secara implisit memuat mazhab dan pandangan dunia berdasarkan ajaran metafisika yang dalam alur matriknya dijelaskan secara eksplanatif tentang empat perjalanan sebagaimana yang tampak dalam klasifikasi diatas, yaitu perjalanan (sulk) intelektual menuju maqam kepastian, dari penciptaan (al-Khalq) menurut Pencipta atau kebenaran mutlak (alhaqq). Kemudian dalam al-Haqq melalui al-Haqq, dan berakhir dengan perjalanan melalui al-Haqq kembali ke dalam penciptaan.23

Selanjutnya M.M. Syarif dalam History of Muslim Philosophy mengemukan bahwa doktrin ajaran Mulla Sadra berkisar pada: Wujud dan beberapa polarisasi, Substansi gerak (Substantial Motion) atau kejadian dan perubahan substansi alam (dunia), Pengetahuan dan hubungan antara yang mengetahui dan yang diketahui, serta Jiwa, fakultasnya, generasi (tanasul, tawallud) perfeksi (muntaha alitqan) dan berakhir pada resurrection (al-amwat, al-ba’ts, al-nasyr).24

Empat pemikiran diatas oleh Mulla Sadra dikembangkan secara eksplanatif menjadi:

Pertama, Kesatuan dan polarisasi wujud. Menurut doktrin Mulla Sadra merupakan persoalan mendasar dan prinsipil, karena menyangkut kesatuan dan gradasi wujud itu sendiri. Hal ini didasarkan bahwa salah satu pokok isi kajian pada filosof dan teolog muslim lebih menekankan pada pertanyaan apakah wujud atau kuiditas (mahiyah) segala sesuatu itu bersifat prinsipil. Menurut perspektif Sufi, diyakini sebagai wujud secara prinsipil dan wujud bersifat independen serta aksiden.

Sementara mazhab Illuminatif yang dipelopori oleh Suhrawardi al-Maqtul menekankan pada metaphysiscs of essences, dimana eksitensi adalah aksiden sementara. Yang esensial adalah yang prinsip. Barangkali persoalan di ataslah yang diperdebatkan oleh Mulla Sadra dalam menangkap persoalan prinsip wujud dengan mazhab peripatetik dan sufi,s erta dengan mazhab Illuminatif.

Kedua; tentang substansial motion. Mulla Sadra memperlihatkan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip Aristotalion tentang materi dan bentuk, harus diterima bahwa substansi alam semesta senantiasa bergerak, tidak pernah terdapat kekonstan sesaat dan keseragaman bentuk dalam substansi alam. Aksiden-aksiden (yaitu sembilan kategori yang lain), sebagai fungsi dan substansi, juga berada dalam gerak. Menurut Mulla Sadra, alam sama dengan gerak, dan gerak sama dengan penciptaan dan pemusnahan yang tidak henti-henti dan berjalan terus menerus. Kontribusi Mulla Sadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al-Jawhariyah) melengkapi para filosof sebelumnya, diman mereka berepndapat bahwa gerakan hanya terjadi pada empat kategori aksiden; kuantitas (kammiyat), kualitas (kaifiyyat), posisis (wadh’) dan tempat (‘ayn). Dengan kata lain, substansi tidak berubah tetapi hanya empat kategori akseden yang berubah. Karena kalau substansi berubah kita tidak dapat menetapkan judgment tentangnya. Begitu kita mengeluarkan judgment, ia sudah berubah menjadi yang lain.25

Mulla Sadra berpendapat bahwa disamping perubahan pada empat kategori aksiden, gerak juga terjadi pada substansi. Kita melihat bahwa dalam dunia eksternal perubahan benda material dan keadaan yang satu kepada keadaan yang lain.

Buah apel kembali dari hijau tua ke hijau muda, kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena eksistensi aksiden bergantung pada eksistensi substansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan perubahan pada substansi juga. Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari penggerak pertama yang immaterial, menuju penyempurnaan yang non-material dan berkembang menjadi sesuatu non-material. Dalam hubungna inilah Mulla Sadra mempertahankan sifat huduts dari dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat; sebagai suaut ukuran kuantitas gerak. Sebab mendasar yang menjadikan akseden dalam bergerak adalah nilai hudutsnya wujud dan waktu yang menjadikannya sebagai tempat kebaharuannya.26

Ketiga; divine and human knowledge. Maka jelas sekali bahwa Mulla Sadar meyakini bahwa substansi kosmos memanifestasikan dirinya sendiri. Pengetahuan ini oleh Mulla Sadra dibagi menjadi dua yaitu; Husuli (axquired), and Hudluri (innate).27

Yang kemudian dibedakan bahwa pengetahuan Tuhan bersifat obyektif existence (alwujud al-‘aini) sedang pengetahuan manusia bersifat mental existence (al-Wujud al-Dhini).28

Keempat; soul, its origin, becoming, and entelecchy, jiwa (the soul) menurutnya adalah realitas tunggal yang pertama kali hadir dalam body (jism). Selanjutnya melalui substansi gerak dan transformasi batin ia menjadi jiwa vegetatif, jiwa hewani dan akhirnya menjadilah ia sebagai jiwa yang manusiawi. Ia memuat beberapa fakultas batini (lima fakultas) yang berfungsi sebagai memori dan imajinasi yang inheren dengan daya cerna ilmu hudluri antara lain; sensus communis (hiss al-mustarak), apprehension (wahm), fantasy (khayl), memory (dzakirah), double faculty of imagination (mutakhhayilah) dan thought (mutafakkirah).29

Mulla Sadra membangun filsafat wujudiyah dan mengkaitkannya dengan persoalan wujud menurutnya, bahwa beberapa wujud yang variatif di alam ini secara keseluruhan memiliki batasan bila dibanding dengan realitas mutlak. Hal-hal yang terbatas (limitations) dapt diabstraksikan melalui gagasan dan ide yang selanjutnya membentuk beberapa kuiditas sesuatu benda.

Menurutnya, wujud merupakan kesatuan dalam multiplisitas dalam kesatuan. Dalam hal ini Mulla Sadara membaginya pada beberapa kateogi wujud dan terutama dalam karyanya al-Ashfar al-Arba’ah yaitu wujud yang berkaitan (al-wujud al-irtibati), al-wujud al-nafsi (self subsistent being), yang selanjutnya dikaitkan dengan statemen yang mengemukakan bahwa “man is a rational animal”. Kategori ini lalu dibagi menjadi tiga: substansi (jauhar0, aksiden (‘ard), dan semua wujud yang berskala wujud al-rabit (connectibe being) bagi semua wujud selain Tuhan.

Dalam menangkap persoalan wujud, Mulla Sadra menekankan persoalan mendasar dan penting menjadi tiga yaitu; wajib (necessary), mungkin (possible), dan mumtani’ (impossibel). Dengna demikian pada gilirannya menurut Mulla Sadra wujud memiliki pembagian-pembagian yang dipertautkan dengan spesis-spesis (al-nau’ wa al-rutbah). Dengan bahasa lain, maujud dapat dibagi menjadi beberap kelompok (Sebagai contoh, dibagi menjadi obyektif dan subyektif, wajib dan mungkin, abadi dan diciptakan pada waktu tertentu, tetap dan berubah, tunggal dan jamak, potensi dan aksi, serta substansi atas aksiden). Tentu saja ini merupakan pengelompokkan secara primer, yaiut pengelompokkan atas maujud menurut kenyataan kemaujudannya.30

Filosof yang mengkaji tentang wujud secara kosmologik, mengatakan bahwa gagasan atau konsep yang kita nilai dianggap sebagai subyek, dan predikatnya akan berada dalam salah satu dari tiga kategori di atas. Relasi wujud dengan gagasan atau konsep bisa bersifat wajib; yaitu sesuatu itu wajib ada. Kita kemudian menyebutnya dengan wujud yang niscaya (wajib al-wujud).

Filsafat ini membicarakan tentang Tuhan melalui pendekatan burhanu31 dari wajib al-wujud. Bukti-bukti filosofis memperlihatkan bahwa ada suatu wujud yang baginya, ketiadaan adalah absurd dan keberadaan adalah wajib. Jika relasi wujud dengan gagasan bersifat mustahil, dan kehadirannya bersifat absurd dan keberadaan adalah wajib. Jika relasi wujud dengan gagasan bersifat mustahil, dan kehadirannya bersifat absurd, jika menyebutnya wujud mustahil, misalnya bangun kubus yang sekaligus berbentuk bola.

D. ANALISA BANGUNAN FILSAFAT MULLA SADRA

Bila ditelusuri bangunan pemikiran Mulla Sadra dan terutama dalam bidang filsafat , maka ia berada dalam wilayah demonstrasi filosofis (al-falsafah aburhaniyah) atas ucapan-ucapan para Imam Syi’ah dan kaum Arif (‘urafa). Sebelumnya, ucapan-ucapan itu hanya dipandang sebagai semacam fatwa-fatwa irrasional belaka, sebagaimana diakui bahwa para Imam Syi’ah telah banyak berperan dalam mengembangkan paham atau aliran kesatuan wujud (wahdat al-wujud). Dalam salah satu karyanya yang paling ekstensif, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, Henry Corbin membuktikan kebenaran pandangan tersebut.32 Dalam buku tersebut Henry Corbin menyatakan bahwa tidaklah salah jika saya menyebutkan ucapan-ucapan para Imam Syi’ah sebagai sumber dan bahan refleksi atau renungan filosofi Mulla Sadra.

Dengan demikian kerangka umum bangunan pemikiran filsafat Mulla Sadra dapat dirumuskan sebagai berikut:

Pertama, kejelasan aksiomatis konsep wujud (badahah mafhum al-wujud), konsep wujud atau ada itu jelas dan sederhana. Hanya saja, apakah konsep itu juga jelas dan sederhana pada semua maujud. Kedua, ekuivalensi konsep wujud pada semua maujud. Konsep wujud pada semua maujud. Konsep wujud itu ekuivalen (alta’adul wa al-tasawa) pada semua maujud. Misalnya, wujud pohon dan wujud manusia itu sama. Hanya saja, keduanya secara eksternal berbeda secara distingtif. Maka yang menjadi titik pembeda adalah bukan wujudnya, melainkan esensi (mahiyah)nya. Ketiga, wujud bukanlah kuiditas (mahiyyah). Sekiranya wujud itu memang sederhana, lantas mengapa kita jumpai adanya multiplisitas eksistensial (alwujud al-ta’addudy) di alam ini, jawabannya adalah bahwa multiplisitas dan pluralitas itu berasal dari gradasi eksistensial. Keempat, gradasi wujud (al-thabaqat al-wujudiyah al-ashalat al-wujud),33 kelima, spektrum wujud (al-wujud al-musyahad). Ini merupakan eksplanasi tentang ihwal penetrasi unitas dalam pluralitas wujud. ketujuh, penetrasi unitas dalam pluralitas, karena kesatuan itu sangat mungkin menjadi banyak, maka wujud yang satu pun bisa menjadi banyak juga (kesemua realitas wujud identik dengan penampakan wajah wujud dari realitas mutlak).

Dengan demikian dapat ditangkap bahwa konsep wujud itu jelas, sederhana, dan tunggal pada semua maujud. Dan segala sesuatu yagn secara abstraksi mental satu, pasti secara ekstensi eksternal pun satu, dan tidak sebaliknya. Sebab abstraksi mental adalah pecahan ontologi dari individual eksternal. Misalnya dapat kita gambarkan dalam analog berikut ; satu telur pasti berasal dari satu ayam, akan tetapi kebaliknya tidaklah demikian. Boleh jadi satu ayam punya banyak telur, dan banyak telur berasal dari satu atau banyak ayam. Karenanya wujud itupun satu dan tidak banyak serta kemaujudan, itu satu juga adanya.

Dalam mengklasifikasi dari beberapa perjalanan diatas, yang banyak diterangkan dalam al-Ashfar al-Arba’ah, dapat dielaborasi sebagai berikut; pertama; topik-topik yang berkaitan dengan dasar atau prasarat bagi diskursus tauhid (merupakan maslaah filsafat biasa) berkenaan dengan perjalanan mental kita dari makhluk menuju Tuhan. Kedua; topik-topik tauhid, teologi, dan sifat-sifat keIlahian perjalanan bersama Tuhan dalam Tuhan. Ketiga; topik-topik perbuatah Ilahi dunia sujud yang universal, perjalanan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan. Keempat; tentang jiwa dan tujuannya (ma’ad), perjalanan makhluk bersama Tuhan. Demikian gambaran sekilas tentang pemikiran filsafat Mulla Sadra dan terutama dalam al-Ashraf al-Arba’ah. Mulla Sadra, yang menyebut sistem filsafatnya sebagai kearifan puncak, menyebut filsafat konvensional, baik illuminasi maupun peripatetik, sebagai filsafat umum atau filsafat konvensional.

E. PENUTUP

Filsafat lain yang terkadang jug adisebut sebagai eksistensialisme juga berkembang di zaman sekarang. Bentuk eksistensialisme ini menyangkut masalah manusia dan mengacu kepada gagasan bahwa manusia berbeda dengan makhluk lain, tidak memiliki esensi yang definitif dan telah ditentukan sebelumnya, dan tidak memiliki bentuk yang ditentukan sebelumnya, dan tidak memiliki bentuk yang ditentukan oleh alam. Manusia menentukan dan membangun keberadaannya sendiri.

Gagasan ini secara luas dapat dibenarkan dan didukung oleh filsafat Islam, kecuali apa yang disebut sebagai eksistensialisme dalam filsafat Islam tidak berlaku hanya untuk manusia saja, tetapi jug untuk alam semesta. Maka ketika kita berbicara tentang eksistensialisme atau ishalat al-wujud (isme) dalam pengertian realitas substantif atau wujud obyektif, sebagai kebalikan dari eksistensi nominal atau mental (batiniyah).

Dan pada saat kita menggunakannya dalam konteks eksistensialisme modern yang direspon oleh Barat, kita menggunakannya dalam pengertian keutamaan atau kelebihdahuluan. Dengan alasan apapun, kita tidak boleh mempersamakan kedua pengertian diatas. Bila kehadiran filsafat eksistensialisme dalam tema-tema filsafat Islam mendapat ruangan yang luas bagi para pengkaji kefilsafatan, maka akan didapati suntikan semangat ilahiyah dalam memikirkan persoalan wujud manusia dengan segala keterkaitan hidupnya. Apalagi jika ingin menjadi seorang yang ‘arif melangkah lebih jauh , lidah akan jadi kelu, tangan menjadi gementar, kakipun ikut lumpuh, tak jadi luluh lantaran menyaksiksan keindahan yang tiada tara. Apakah gerangan yang menjadikan cahaya terang benderang yang penuh dengan pesona keindahan, pada saat kita dekati tanpa aturan main, menjadi sangat panas, dan bahkan bisa menghanguskan seluruh kosmos; gegunungan, bebatuan, tetumbuhan, lautan, dan segala sesuatu yang maujud.

Maka segala yang maujud tentu ada batasnya. Untuk memberikan bukti kepada buih ombak bahwa ia adalah bagian, samudera harus terus mencipta buihbuih lain yang bersifat membatasi, agar buih semakin tahu diri dimana ia terbatasi oleh yang selainnya dan mendorong agar samudera bisa menafikan diri dengan baik dihadapan yang tidak terbatas dan menjalankan tugasnya sebagai hamba yang papa.

Ada saat-saat dimana buih lupa kepada samudera yang menjadikan eksistensi dirinya (asal maujudnya). Ia hanya ingat pada esensinya yang menjijikkan itu. Manusia pun terkadang nyaris bisa lupa akan ketergantungan kepada yang mutlak. Inilah yang disebut sebagai kufur aktual. Kelupaannya disebabakn oleh intimasi rasio dengan esensinya dan dengna egonya yang arogan. Arogansi egonya berusaha menentang Tuhan sebagai realitas mutlak, yang mau tak mau, akan merintangi kebrutalan dan kepongahan egoistiknya.

ooooo00000ooooo

CATATAN AKHIR

1. Amanutullah Armstrong, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf, (The Mystical Language of Islam, Terj. M. Nasrullah dan Ahmad baiquni (Bandung: Mizan, 1996).p.313.

2. Lihat al-Huwiri, Kasyf mahjug; Risalah persia Tertua Tentang Tasawuf (Badung : Mizan, 1992).p.366-368 3 The Liang Gie, Pengantar Filsasat Ilmu (Yogyakarta : Liberty, 1991).p.3. atau dapat dirujuk pada John Passmore Philoshopy, dalam The Encyclopedia of Philosphophy(Macmilan & Free Press, 1967.p.220).

4. Lihat Elias A. Elias & Ed.E. Elias. Elias, Modern Dictionary Englis Arabic, Cet. XXIX. (Bairut : Dar al-Jail, 1988).p.259.

5. Lihat Muhammad baqir al Shadr, Falsafatuna, (terj.) Nur Mufid. (Bandung: Mizan, 1991). P. 216-221

6. Shadr al-Dien Muhammad al-Syirazy, al-Hikmah al-Muta’aliyah Fi al-Asfar al-Aqliyah al-Arba’ah, Bol. IX, (Beirut : Dar Ihya al-Turats al-Arabym 1981). Untuk selanjutnya dikutip dengna al-asfar al-arba’ah.

7. Majid Fakhry, Sejarah Filasafat Islam, terj. Mulyadi Kartanegara, (Jakarta : Dunia Pustaka Jaya. 1987).p.419

8. Lihat M.M. Sharif. A History…, p.934. dan juga pada madjid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, terj. Mulyadi Kartanegara dengan judul Sejarah Filsafat Islam, (jakarta : Pustaka Jaya, 1987).p. 419

9. S.H. Nasr, Intelktual Islma , Teologi, Filsafat, dan Gnosis, tj. Suharsono & jamaluddin MZ. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996).p.78.

10. Lihat Madjid Fakhry. Sejarah…, p.419. atau lihat juga pada M.M. Sharif, A.Hsitory…, p. 935-936

11. Murtadha Muthahari, Tema-tema Penting Filsafat Islam , terj. Rifa’i hasan & Yuliani, (Bandung : Mizan , 1993).p.48

12. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum. Akal & hati Sejak Thales Dan James, cet. Iii (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993).p.192

13. Seyyed Hossein nasr, Menjeleajah Dunia Modern Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim (Bandung : Mizan, 1994).p.90

14. Fuad hasa, Berkenalan Dengna Eksistensialisme, cet. V. (jakarta : Dunia Pustaka Jaya, 1992).p.25

15. Driyarkaya, Percikan Filsafat (Jakarta : Pembangunan, 1996).p.57

16. Mehdi ha’iri yazdi, Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung : Mizan, 1994).p.51

17. S.H. Nasr, “Sadr al-Dien al-Syirazi (Mulla Sadra)”, dalam M.M. Sharif, A History of Muslim Philosophy (Wiesbaden : Otto Harrassowitz, 1966).p.940

18. Syed Husain Nasr, Islamic Studies (Beirut : Libraire Du Liban, 1967).p.117-118

19. Muhammad Baqir al-Shadr, Falsafatuna…, p.219

20. Lihat F. Schoun, Dimension of Islam (London : Allen & Unwin, 1970), p.146-147

21. Osman bakar, Tauhid & Sains, Esai-esai tentang Sejarah Dan Filsafat Sains Islam, cet. Kedua. Terj. Yulianto Liputo (Bandung : Pustaka hidayah, 1995).p.32-33

22. Muthahhari. Op.cit., p.49. Menurut rekaman Muhahari, secara general isi al-Asfar al-Arba’ah berkisar pada empat perjalanan diatas.

23. Lihat M.M. Sharif, A History …,p.937
24. M.M. Sharif, A Hsitoryof Mulsim Philosophy, p.942. pemikiran ini memiliki nilai similartias dengan perspektif al-Qur’an dan terutama berkaitan dengan proses wujud yaitu firman Allah pada sura al-Mukminun ayat 12-16.

25. Jalalluddin Rahmat, “Hikmah Muta’aliyah: Filsafat islam Pasxa Ibnu Rusyd”, dalam al-Hikmah, Jrnal Studi-studi Islam , nomor 10, Juli-Sepetember, 1993.p.79.

26. Husein Afandi al-Jasr al-Thaablusy, al-Husun al-Hamidiyah, li al-Muhafadzah ‘ala al-Aqaid al-Islamiyah, (ed) Ridlwan Muhammad Ridlwan (Surabaya : Sa’id Ibn Nabhan Wa Auladuh, t.tj). p.63.

27. Ilm al-Hudluri (Presential Science). Adlaah menghasilkan ilmu tentang suatu hal tanpa memperoleh bentuk (form)nya dalam pikiran, seperti pengetahuan seseorang terhadap dirinya sendiri, artinya bahwa ia memperolehnya dengan cara daihy secara langsung. Lihat Abdul Mun’im al-Hafany, al-Mu’jam al-Falsaf, ‘Arabi, Injlisi, Faransi, Almani, dan Latini (Kairo : Dal al-Syarqiyah. 1990).p.217. sadar al-Dien Syirazi merefleksikan ilmu Hudluri ini sebagai berikut : Senadainya saya, melalui tindakan saya sendiri, baik yang bersifat intelektual maupun fisik, bisa menjadi sadar akan diri saya, maka keadaannya seolah-olah saya harus mengeluarkan dari diri saya bukti untuk menjadi saksi bagi siri saya. Jelas ini akan menjadi tindakan sebuah lingkaran setan dimana bagi pengetahuan saya tentang diri saya. Pengetahuan ini sendiri sudah tersirat dalam, dan bertindak sebagai sebab bagi pengetahuan saya mengenai tindakan saya sendiri. Selengkapnya dapat dirujuk pada Mehdi Ha’iri Yazdi, Ilmu Hudluri, Prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasat Islam dan Suhrawardi ia Wittgenstein, terj. Ahsin Muhammad , (Bandung : Mizan , 1994).p.93. Refleksi Mulla Sadra ini identik dengan Cogito Ergo Sum-nya Discartes (aklu berpikir, karena itu aku ada).

28. M.M. Sharif, A History…, p. 953

29. Lihat M.M. Sharif, A History…, p.954

30. Lihat Muthahari, Tema-tema Filsafat…, p.55

31. Burhany dalam hal ini diartikan dengna pendekatan demonstratif, atau penjelasan argumentasi secara transparan (Bayan al-Hujjah Wa Idlahiha), atau merupakan hujjah (argumentasi) itu sendiri, yaitu mengharuskan adanya tasdiq (pembenaran) terhadap suatu persoalan karena kebenaran argumentasinya, menurut terminologi filososf (al-mantiqin) berarti analogi (qiyas) yang disusun dari beberapa postulat unutk mendapatkan suatu hasil yang meyakinkan. Lihat Abdul Mun’im al-Hafani. Al-Mu’jam al-Falsafi, Arabi Injlisi, Faransi, al-Mani, dan Latini (kairo : al-Dar al-Syarqiyah, 1990). P.43. istilah ini selanjutnya dipergunakan dalam filsafat dengan berbagai pengertian yang sedikit berbeda satu sama lain : 91) cara atau jenis argumentasi ; (2) argumen tiu sendiri; dan (3) bukti yang terlihat dari suatu argumen yang meyakinkan dalam pengertian yang terakhir ini istilah tersebut digunakan juga dalam al-Qur’an (al-Nisa ; 174), dan (Yusuf; 24), keterangan dan munasabah term ini dapat dilihat pada M . Sa’id Syaikh, Kamus Filsafat Islam, terj. Mahnun Husein, (jakarta : Rajawali, 1991).p.35

32. Selengkapnya dapat dirujuk pada Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi (Princeton : Princeton University Press, 1969).

33. Seperti telah dikemukakan, kaum peripeteteik seperti Ibnu Sina juga meyakini ashalat al-wujud tetapi Mulla Sadra membedakan dirinya dengan mereka dalam hal tasykik (gradasi wujud). Mereka menganggap wujud setiap benda berbeda dari wujud yang lain, walaupun prinsipal dalam hubungannya dengan mahiyah (esensi). Bagi Mulla Sadra wujud adlah realitas tunggal tetapi mucul dalam gradasi yang berbeda. Misalnya mahiyah al-Nur, dapat dibandingkan bahwa semua nya adlaah cahaya, tetapi ada cahaya matahari, lampu, lilin .s emuannya adalah cahaya, tetapi dengan predikat yang berbeda; mucul dalam manifestasi dalam kondisi yang berbeda dan kondisi yang berbeda . begitu pula ada Tuhan, manusia, binatang dan bendabenda lian , semuanya satu wuud, satu relasi, tetapi dengna berbagai tingkat intensitas dan manifestasi. Gradasi ini tidak terdapat pada mahiyah. Tetapi pada wujud (eksistensi); bukan pada esensi. Uraian selengkapnya dapat dilihat pada tulisan Jalaluddin Rahmat Hikamh Muta’aliyah : Filsafat Islam Pasca Ibnu Rusyd, dalam al-hikmah. Nomor 10, Juli-September 1993. halaman 72-80.

Tinggalkan komentar