RASIONALITAS SYARIAT ISLAM

RASIONALITAS SYARIAT ISLAM

“Tsamarotul aqli luzuumul haqqi”; Hasil (mengikuti) akal adalah komitmen pada kebenaran. (Ali bin Abi Thalib as)

“Science without religion is lame, raligion without science is blind”; Ilmu pengetahuan tanpa agama niscaya lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan akan buta. (Albert Einstein)

Salah satu isu penting dalam diskursus Filsafat Agama adalah relasi agama dan rasio. Jika kita mengurut kronologi isu ini, akan kita dapati betapa peliknya para rohaniawan Kristen pada Abad Pertengahan dalam mempertahankan dogma-dogma agama yang banyak tidak sesuai dengan interpretasi akal dan ilmu pengetahuan[1]. Sehingga dari situ, muncullah beberapa pemikiran para intelektual yang ingin mengkritisi dogma-dogma tersebut, ataupun usaha-usaha meng-islah- kan ajaran agama dengan rasio. Tersusunlah apa yang disebut dengan “Teologi Baru” (new theology) sebagai satu usaha dalam rangka niatan tersebut.

Isu relasi agama dan rasio pada akhirnya menyebabkan seorang kristian, Fulton J. Sheen, dalam karyanya “God and intelligence in Modern Philosophy”, mengatakan: “Pengingkaran terhadap akal adalah pengingkaran terhadap Tuhan yang kesempurnaan-Nya tak terbatas, sebagaimana pengingkaran terhadap Tuhan yang kesempurnaan-Nya tak terbatas adalah pengingkaran terhadap akal; kedua hal tersebut tak mungkin terpisahkan”. Reaksi para teolog dan pemuka rohaniawan Kristen -dalam mempertahankan keyakinan mereka menghadapi tantangan tersebut- cukup beragam. Saat itu muncullah tiga bentuk reaksi[2]:

· Strong Rasionalism, yang meyakini bahwa rasio dan argumentasi pasti mampu menjelaskan segala ajaran agama secara benar. Willian K Clifford, Thomas Aquinas dan John Looke seringkali tampil sebagai tokoh-tokoh utama pemikiran ini.

· Fideism, yang meyakini bahwa ajaran agama adalah doktrin yang tidak bisa disentuh oleh rasio manusia. Hal itu mengingat ajaran agama berada di luar daya dan kapasitas rasio. Paul Tillich, Martin Luther dan Sir. Anselm termasuk yang meyakini hal tersebut.

· Critical Rasionalism, yang meyakini bahwa rasio mampu menjelaskan ajaran-ajaran agama, hanya saja kebenarannya tidak dapat ditetapkan secara pasti. Thomas Morris, George Mavrodes dan penulis buku itu sendiri cenderung kepada pendapat ketiga ini.

Dari sini kita tahu, bahwa dalam tradisi Kristen seakan argumen rasional lebih ditekankan dalam rangka pembelaan atas ajaran agama (apologetic). Dengan kata lain, rasio dipergunakan untuk mencari pembenaran, bukan untuk mencari kebenaran. Pada kalangan umat Islam pun sudah ada tantangan dalam upaya mengkompromikan agama dan rasio, yang terkadang digelindingkan oleh beberapa pemikir yang selalu kritis dalam memperlakukan teks-teks agama yang dianggap tidak sesuai dengan alam pikiran mereka.

Islam sebagai agama pamungkas dan syariat terakhir yang diturunkan oleh Allah swt, serta Al- Quran sebagai kitab suci terakhir dituntut mampu dalam menjawab semua tantangan yang ada. Adakah ajaran Islam selaras dengan apa yang diserukan oleh akal budi manusia? Apakah Islam dengan berbagai teks agama yang dimilikinya mampu menjawab semua tantangan rasionalitas pemikiran? Jika jawabannya negatif, niscaya Islam akan kehilangan predikatnya sebagai agama terakhir yang idealnya mampu menjawab tantangan segala zaman. Akan tetapi jika jawabannya positif, maka akan banyak sekali bermunculan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut sebagai konsekuensi dari jawaban positif tadi.

Dari sekian banyak pertanyaan yang muncul dari isu tersebut ialah; apakah yang dimaksud dengan rasio? Adakah rasio bisa menjadi tolok ukur kebenaran ajaran agama? Bagaimana Islam menerima argumentasi rasional? Adakah ia sebatas sebagai apologetic sebagaimana yang digunakan dalam tradisi Kristen, atau memang sudah menjadi keseutuhan Islam? Sampai batas manakah rasio bisa menjadi dalil kebenaran? Bagaimanakah rasio manusia yang relatif ini bisa menjadi tolok ukur kebenaran? Bagaimana metode islah dan penyelarasan antara rasio dan agama? Bagaimana jika ternyata ketimpangan antara rasio dan teks agama? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul dari isu itu.

Kita di sini akan mencoba menjawab secara ringkas pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dasar pemikiran Rasionalitas Agama. Sebelum kita masuk pada intinya, terlebih dahulu kita telaah secara singkat beberapa hal di bawah ini yang sekaligus sebagai prolog pembahasan kita kali ini:

Pertama, dalam kehidupan kita sehari-hari bisa dipastikan, bahwa apapun yang biasa dicerna oleh pikiran kita -lepas dari benar salahnya hal-hal tersebut- tidak akan keluar dari tiga kemungkinan berikut ini:

1. Rasional; segala sesuatu yang sesuai dengan realita -dengan arti umum- dan sesuai dengan prinsip-prinsip logika manusia sehat.[3]

2. Irasional; segala sesuatu yang tidak sesuai dengan realita dan tidak sesuai pula dengan prinsip-prinsip logika manusia sehat.

3. Supra-rasional; segala sesuatu yang sesuai dengan realita akan tetapi penerapan logika manusia dalam menetapkannya masih belum didapat. Dengan kata lain bahwa hal tersebut bukan berarti masuk kategori tidak masuk akal (irrasional) akan tetapi dikarenakan keterbatasan akal maka ia belum mampu -atau bahkan tidak mampu karena hal-hal yang akan kita jelaskan nanti- untuk menjangkaunya secara argumentatif dan tidak menutup kemungkinan suatu saat kelak akal mampu menganalisanya dengan argumen yang logis sesuai dengan prinsip-prinsip dasar ilmu logika.

Kedua, sudah menjadi kesepakatan semua kelompok kaum muslimin bahwa ajaran syariat Islam[4] bertumpu pada dua[5] pilar:

1. Ushuluddin; dari segi bahasa ushul kata jamak dari asl yang berarti asas, sedang din berarti agama, oleh karenanya ushuluddin berarti asas-asas agama. Ajaran agama-agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam) sepakat bahwa ada tiga asas pokok yang dimiliki oleh agama Allah yang mencakup Ketuhanan, Kenabian dan Hari Kebangkitan.

2. Furu’uddin; dari sisi bahasa furu’ kata jamak dari far’ yang berarti cabang, oleh karenanya furu’uddin berarti cabang-cabang agama. Cabang-cabang agama ini mencakup urutan tata cara ibadah yang biasa disebut dengan syariat.[6] Syariat dalam makna ini mencakup ritualitas (ibadat), transaksi (muamalat) dan hukum jinayat.

Ketiga, Ajaran-ajaran agama Islam yang tercantum dalam al-Qur’an maupun hadis-hadis saheh tidak lepas dari dua bentuk penyampaian:

a- Deskriptif; ajaran yang disampaikan dengan bentuk ini berpotensi untuk dilakukan pembuktian akan benar-salahnya suatu ajaran. Dikarenakan ajaran melalui proses penyampaian deskriptif (jumlah-ikhbariah) merupakan usaha untuk membangun kerangka pengetahuan sehingga dalam pembuktiannya bisa melalui argumen-argumen logika.

b- Normatif; ajaran yang disampaikan melalui bentuk normatif (jumlah-insya’iah) ini tidak memiliki potensi untuk diadakannya suatu pembuktian salah-benar suatu ajaran. Dikarenakan ajaran melalui proses tersebut tidak berfungsi untuk membangun suatu kerangka pengetahuan maka argumen dalam menetapkan benar-salah tidak berfungsi disini, kalaulah akan diadakan suatu penelitian maka hanya berkisar tentang sebab (baca:Hikmah[1]) dibalik perintah atau larangan tersebut.

Setelah kita mengetahui sekilas hal-hal diatas marilah kita tengok pendapat kelompok-kelompok Islam dalam menghukumi peranan argumen rasional pada ajaran agama.

Mazhab-mazhab Islam dan argumen rasional:

Dalam sejarah perkembangan Islam, kemunculan beberapa mazhab merupakan fonomena tersendiri yang tidak bisa dipungkiri. Perbedaan-perbedaan pendapat baik yang berkaitan dengan ushuluddin maupun furu’uddin adalah salah satu penyebab utama munculnya mazhab-mazhab tersebut. Bukan hanya dari sisi muatan ajaran saja mereka berbeda akan tetapi dari sisi metode penetapan kebenaran (berargumen) ajaranpun terjadi perbedaan pendapat. Salah satu sarana dalam menetapkan kebenaran ajaran agama yang menjadi pemicu perbedaan pendapat antar mazhab-mazhab Islam adalah tentang peranan argumen rasional dalam menetapkan kebenaran ajaran agama. Disini kita akan sebutkan tiga pendapat dari kelompok-kelompok Islam perihal argumentasi rasional:

1- Mazhab Zahiri (kontekstualisme): mereka hanya mengambil tekstual (zahir) suatu teks agama tanpa memperdulikan makna yang ingin disampaikan oleh pembicara [2](mutakallim) dibalik itu. Mereka menolak dengan tegas segala macam ta’wil ataupun argumentasi akal. Merekapun berusaha untuk menjaga dimunculkannya permasalahan dan pemikiran baru yang masuk dalam ajaran agama, oleh karenanya mereka menolak berbagai pertanyaan yang menimbulkan munculnya permasalahan baru. Anas bin Malik adalah contoh dari tokoh pemikiran diatas dimana ia pernah ditanya tentang ayat:”Allah bersemayam disinggasana (arsy)” (Qs Thaha:5) maka Anas menjawab: “makna istiwa’ (bersemayam) sudah bisa dipahami, bentuk (kualitas) istiwa’ tidak dapat diketahui, dan mengimani hal tersebut adalah suatu kewajiban, sedang bertanya tentang hal tersebut merupakan bid’ah”.[3]

2- Mazhab Aqli (rasionalisme): mereka meyakini bahwa segala macam ajaran agama bisa dideteksi melalui rasio. Mereka meyakini bahwa wajib dan haram dalam ajaran agama bisa diketahui oleh rasio manusia dimana itu semua bertumpu pada landasan kaidah “wujub syukril- mun’im” (kewajiban berterima kasih pada pemberi nikmat) sedang kaidah itu bertumpu pada rasionalitas baik-buruk.

3- Mazhab Insijam (komplementerisme): mereka meyakini adanya relasi antara rasio dengan syariat (agama). Mereka meyakini bahwa sebagaimana wahyu dan syariat -dengan arti umum- merupakan sumber pengetahuan manusia, maka rasio dan akalpun dihukumi seperti itu pula. Mereka meyakini bahwa sebagaimana wahyu (agama) merekomendasikan banyak hal yang bersifat obyektif maka begitu pula akal (rasio).

Dikarenakan disini kita bukan dalam rangka menjustifikasi manakah dari ketiga kelompok diatas yang sesuai dengan ajaran Islam maka disela-sela pembahasan akan kita singgung sedikit tentang argumen kelompok yang mengatakan adanya relasi antara akal dan teks agama yang sesuai dengan topik kita.

Beberapa kesalahan:

Ada beberapa kesalahan fatal yang sering disalah pahami oleh sebagian kaum muslimin tentang peranan argumentasi rasio (baca:akal) dalam penetapan akan kebenaran hal-hal yang berkaitan dengan agama. Mereka beranggapan bahwa hanya melalui perantara al-Qur’an dan Hadis saja kebenaran ajaran agama Islam bisa ditetapkan oleh karenanya akal sama sekali tidak dapat dijadikan sumber hukum kebenaran satu ajaranpun. Mereka beranggapan bahwa hanya al-Qur’an satu-satunya kebenaran mutlak yang harus diterima tanpa riserve dalam arti kita tidak boleh mempertanyakan segala apa yang dimuat oleh al-Qur’an. Dengan mempertanyakan apapun yang tertera dalam al-Qur’an berarti kita -tanpa disadari- akan mempermasalahkan pula segala hal yang berkaitan dengan katauhidan, wahyu, keberadaan hari akhir ataupun risalah Ilahi secara umum.

Dengan kata lain mereka ingin mengatakan bahwa akal sama sekali tidak memiliki peran dalam kebenaran ajaran agama Islam. Mereka-mereka yang beranggapan semacam itu berargumen dengan ayat yang berbunyi: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai” (Qs al-Ambiyaa’:23), sehingga atas dasar ayat inilah kita dilarang untuk bertanya atas segala ketentuan Ilahi, sedang dalam ayat lain Allah berfirman: “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (Qs al-An’am:57) yang berarti bahwa segala peraturan dan perintah milik Allah secara mutlak.

Berdasarkan dua ayat diataslah maka mereka berkesimpulan bahwa bertanya -yang merupakan pekerjaan akal- tentang segala hal yang telah menjadi kebijakan Allah mutlak diharamkan, yang hal itu berarti secara mutlak jalan buat argumen akal tertutup dan hanya argumen tekstual agama saja yang dianggap.

Sebelum kita menjawab problem diatas, terlebih dahulu harus kita ketahui bahwa apakah gerangan tujuan yang akan dicapai melalui tanya-jawab berkaitan dengan berbagai hal-hal agama? Harus disadari bahwa relasi antara pertanyaan dan jawaban sebagaimana relasi antara positif dan negatif pada aliran listrik guna memunculkan suatu tenaga. Jika terdapat aliran negatif sedang aliran positif tidak didapat atau tidak adanya keseimbangan antar keduanya maka lampu tidak akan nyala sesuai dengan yang dinginkan. Begitu pula dengan pertanyaan jika jawaban yang ada tidak didapat atau tidak memuaskan maka cahaya (penerangan) pada pikiran masyarakat tidak akan pernah kita dapati.

Dalam ayat al-Qur’an disebutkan:”Semua yang ada dilangit dan dibumi selalu meminta (/bertanya) kepada-Nya, Setiap waktu Dia dalam kesibukan” (Qs ar-Rahman:29) Ayat ini menunjukkan bahwa kelangsungan pancaran Ilahi (divine emanation) pada sisi penciptaan manusia dan bagian alam materi lainnya tersimpan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban. Kita ketahui bahwa segala sesuatu selain Allah memerlukan selainnya sedang hanya Dzat Allah saja Yang Maha Kaya, maka segala makhluk ciptaan Allah selalu menanyakan (baca:meminta) segala kebutuhannya sedang Allah selalu menjawab pertanyaan itu dengan pengkabulan. Tentu pertanyan yang bertujuan untuk menguji bukan bermuatan mencari keilmuan oleh karenanya ia dikategorikan ibarat aliran negatif yang tidak memiliki aliran positif, hukum yang sama akan kita katakan pada pertanyaan yang tidak terjawab atau jawabannya tidak memuaskan.

Berbeda halnya dengan pertanyaan yang bertujuan untuk mencari keilmuan -yang didasari atas ketidaktahuan- maka disaat itu dengan merujuk pada ahlinya kita pasti akan mendapat jawaban yang memuaskan dan masuk kategori adanya relasi antara positif dan negatif sehingga menghasilkan kekuatan menerangi pada lampu. Allah berfirman:”maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan (ahlu-zikr) jika kamu tidak mengetahui” (Qs an-Nahl:43)

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa tanya-jawab memiliki beberapa bagian:

1- Pertanyaan dengan bentuk permohonan yang ditujukan kepada Allah atau para “manusia Ilahi” dengan izin Allah. Permohonan kepada Allah ini yang juga masuk kategori jenis pertanyaan, bukan hanya tidak dilarang akan tetapi justru ditekankan dalam ajaran agama. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat:”dan memohonlah kepada Allah sebagian dari karunia- Nya” (Qs an-Nisaa’:32)

2- Pertanyaan untuk meningkatkan keilmuan, dimana al-Qur’anpun dengan jelas sebagaimana yang telah disinggung (dalam ayat diatas an-Nahl:43) bahwa: “maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan (ahlu-zikr) jika kamu tidak mengetahui”. ayat ini jelas sekali penekanannya akan perihal tersebut.

3- Pertanyaan yang dilontarkan dalam rangka protes kepada Allah, tentu pertanyaan jenis ini dilarang oleh agama sebagaimana yang tercantum dalam ayat:23 surat al-Anbiyaa’ dimana Allah berfirman: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai ” karena bukan hanya manusia biasa yang akan ditanya oleh Allah diakhirat kelak namun para nabi dan rasulpun akan ditanya oleh Dzat yang Penguasa alam semesta: “Maka sesungguhnya kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami)” (Qs al-A’raaf:6).

Dari sini jelaslah bagi kita manakah pertanyaan yang diperbolehkan oleh agama dan manakah pertanyaan yang dilarang oleh agama. Tentu pelarangan secara mutlak segala jenis pertanyaan berkaitan dengan hal-hal yang tersembunyi dibalik ajaran agama akan mengakibatkan ke-jumud- an dan yang berakhir pada ketidak berkembangnya keilmuan umat akan agamanya sehingga agama hanya sekedar gudang ajaran yang bersifat dogmatis belaka. Jika hal itu terjadi sementara fitrah selalu ada gejolak untuk mempertanyakan sesuatu yang masih belum ia pahami maka agama beserta doktin-doktrinnya akan sekedar menjadi hiasan pada KTP belaka dan menjadi sekedar warisan nenek moyang, dan berakhir telah keluarnya agama dari tujuan aslinya yaitu menghantarkan kepada kemuliaan dunia-akhirat yang itu semua mustahil terwujud tanpa didukung dengan keilmuan. Selain itu peningkatan kualitas ibadah -yang ditekankan oleh Allah- tidak akan bisa terwujud, dikarenakan kualitas ibadah didasari keilmuan akan makna ibadah itu sendiri juga dipengaruhi oleh niat yang baik dimana niat yang baik harus dilandasi pula dengan pengetahuan, oleh karenanya jika pintu tanya-jawab ditutup maka ilmu yang masih belum didapat tidak akan pernah ia dapati sehingga kualitas ibadah yang baikpun tidak akan pernah bisa didapat.

Rasionalitas baik-buruk:

Pembahasan tentang rasionalitas syariat Islam bertumpu pada satu pembahasan prinsip yaitu tentang penerimaan konsep rasionalitas baik-buruk. Sebagaimana penerimaan argumen rasio terjadi perbedaan pendapat antar kelompok kaum muslimin, maka fungsi rasiopun juga tidak luput dari perbedaan pendapat dikalangan mereka karena hal tersebut adalah cabang dari pemikiran tentang penerimaan argumen rasio. Dalam pembahasan ini kita akan singgung sedikit[7] tentang rasionalitas baik-buruk dengan beranjak dari beberapa pertanyaan yang menjadi pacuan dari pembahasan ini:

1- apakah baik-buruk merupakan suatu yang substansial bagi segala sesuatu?

2- apabila telah ditetapkan bahwa baik-buruk merupakan substansial bagi segala sesuatu, maka apakah bisa didapat cara untuk mengetahui dan menentukannya?

3- jika ternyata bisa ditetapkan bahwa baik-buruk mampu ditentukan oleh akal, maka apakah baik- buruk yang dihasilkan oleh akal tadi hanya mengakibatkan ganjaran duniawi saja atau mencakup balasan ukhrawi juga?

Sebelum kita masuk pembahasan ini, perlu dijelaskan tentang baik-buruk yang kita akan bahas dan yang menjadi selisih paham antara beberapa kelompok muslimin. Ada tiga kemungkinan dari makna baik-buruk disini:

1- Baik adalah sesuatu yang diidentikkan dengan segala yang sesuai dengan kehendak manusia, buruk adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Pemandangan indah dikatakan baik karena sesuai dengan kehendak manusia, sebaliknya pemandangan jelek yang dianggap buruk. Dalam makna baik-buruk disini tidak terjadi perbedaan antar kelompok kaum muslimin.

2- Baik adalah sesuatu yang identik dengan kesempurnaan, buruk adalah sesuatu yang identik dengan kekurangan. Kecerdasan disebut baik karena masuk kategori sesuatu yang sempurna sedang kebodohan disebut jelek karena masuk kategori sesuatu yang kurang. Dalam makna baik- buruk seperti inipun tidak ada perbedaan pendapat antar kelompok kaum muslimin.

3- Baik adalah segala perbuatan yang sesuai dengan tinjauan akal, buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan tinjauan akal. Dengan kata lain apakah akal mampu menentukan baik-buruk perbuatan manusia dalam arti layak atau tidaknya perbuatan manusia? Disini terjadi perbedaan pendapat antara beberapa kelompok dalam Islam.

Secara ringkas bisa kita sebutkan tentang sumber perbedaan pendapat antar theolog muslim. Para theolog asya’irah[8]meyakini bahwa akal/rasio manusia tidak memiliki kapasitas dalam menentukannya. Hanya Allah yang memiliki otoritas dalam menentukan hal tersebut. Dengan penjelasan bahwa jika Allah menyuruh manusia untuk melakukan suatu perbuatan maka hal itu menunjukkan bahwa hal tersebut adalah baik, dan sebaliknya jika Allah melarang suatu perbuatan maka berarti hal tersebut adalah buruk. Kelompok ini termasuk kelompok yang mengkategorikan akal sebagai salah satu bagian dari susunan teks aturan agama (sunnah) yang ada karena mereka menganggap bahwa akal berfungsi sebagai penyingkap perintah dan larangan yang dilakukan Allah bukan sebagai penemu. Dikarenakan dengan mengingkari rasionalitas baik-buruk berkonsekwensi menutup jalan untuk menjelaskan hukum, etika dan perundang- undangan, oleh karenanya para Asya’irah tidak menentangnya secara mutlak tapi pada makna pertama dan kedua dari makna baik-buruk -yang telah disebutkan diatas- mereka menerimanya walaupun pada makna ketiga mereka mengingkarinya.

Para pendukung rasionalitas baik-buruk -mayoritas Syi’ah imamiah- meyakini bahwa dengan mengingkari rasionalitas baik-buruk -walaupun secara terbatas- berarti menghilangkan fungsi agama sebagai penjelas hal yang berkenaan dengan keilmuan, pembentukan program kerja, leadership,dsb sehingga agama sebatas sarana untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat normatif saja. Para pendukung pemikiran ini meyakini bahwa Allah selain telah menurunkan penerang yang bisa diindera langsung oleh manusia berupa pengutusan para “manusia Ilahi” dan wahyu (baca:kitab suci), Ia juga menganugerahkan kepada manusia yang fitrahnya masih berfungsi dengan baik sebuah penerang lain yang tersimpan dilubuk manusia yang bernama akal. Jika manusia tidak memanfaatkannya maka ia akan tertutup debu dan yang berakhir bahwa ia tidak akan tersinari dengan cahaya tersebut: “maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya” (Qs as-Syams: 9-10-11). Akal/rasio argumentatif inilah yang mampu menentukan baik-buruk suatu perbuatan.

Kita perhatikan pada realita yang ada bahwa secara global perbuatan manusia bisa dibagi menjadi tiga bagian:

1- Perbuatan yang menjadi penyebab utama (prima causa) dari baik-buruk, yang secara substansial ia menjadi penyebab predikat baik-buruk suatu perbuatan, sebagaimana adil merupakan hal baik dan zalim merupakan hal buruk.

2- Perbuatan yang jika disesuaikan situasi dan kondisinya memiliki muatan baik atau buruk sedang akal juga menghukuminya sesuai dengan situasi dan kondisi tersebut dari sisi baik atau buruk pula. Jujur tidak selamanya baik sebagaimana bohong tidak selamanya buruk, semua itu disesuaikan dengan maslahat situasi dan kondisi yang ada. Kita bisa katakan bahwa jujur adalah baik, tapi kebaikan disini bukan dilihat dari sisi bahwa jujur adalah penyebab utama (prima causa) kebaikan tersebut, begitu pula dengan bohong.

3- Perbuatan biasa yang tidak ada hubungan dengan situsi dan kondisi -sebagaimana pada bagian kedua- yang biasa dalam syariat disebut dengan mubah seperti duduk atau berdiri. Hukum hal semacam ini tidak berhubungan dengan situasi dan kondisi -dari sisi perubahannya- kecuali jika ia menjadi obyek sesuatu yang lain. seperti duduk adalah suatu hal yang boleh saja, kecuali jika kita dipaksa untuk duduk dan jika tidak akan dibunuh, maka hal itu telah masuk pembahasan lain.

Mayoritas pengikut Syi’ah imamiah meyakini bahwa ketiga bentuk pekerjaan diatas akal/rasio manusia secara independen dapat menentukan hukum sendiri -dari sisi baik-buruk- walau tanpa bantuan wahyu dari Allah. Mereka tidak mengatakan bahwa akal sebagai bagian dari sederetan teks agama (sunnah)[9] -sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas pengikut Asya’irah- tapi akal sejajar dengan teks agama, kalaupun ada teks agama yang sesuai dengan fatwa akal maka hal itu sebagai penguat dan pendukung saja.

Para pengikut Asya’irah dalam mengkritisi pendapat Syi’ah mengatakan bahwa kalaupun rasio manusia dapat melakukan hal-hal yang telah disebutkan diatas tadi, sementara kita tahu bahwa rasio manusia dalam menilai banyak hal terjadi perbedaan, hal ini menjadi bukti bahwa secara substansial rasio manusia tidak bisa menjadi tolok ukur baik-buruk. Dalam menanggapi problem tersebut bisa dikatakan bahwa kita dapati dalam banyak hal yang berkaitan dengan berbagai masalah kontemplatif (nazari) terjadi banyak pertentangan baik itu yang berkaitan dengan ketuhanan, kenabian ataupun hari akhir, apalagi problem ilmiah seperti pembahasan kita kali ini. Hanya problem yang dikembalikan pada necessary preponderances (badihiaat-awwaliyaat) saja yang dijamin kebenarannya. Jadi kalaupun apa yang diungkapkan oleh sebagian kaum Asy’ari tadi benar maka hal itu hanyalah tertuju pada problem-problem necessary preponderances saja sedang yang kita maksudkan disini adalah yang necessary (badihiy), oleh karena itu rasio tidak hanya bisa mendeteksi hal-hal yang berkaitan dengan segala permasalahan yang jelas dari hikmah teoritis saja akan tetapi juga mencakup hikmah praktis.

Kelompok yang meyakini rasionalitas baik-buruk mengatakan bahwa ada beberapa konsekwensi logis yang harus kita terima jika kita menolak pendapat tentang rasionalitas baik-buruk tersebut, antara lain:

1- Penentangan atas naluri kemanusiaan; dengan merujuk kepada naluri kemanusian kita akan dapati bahwa kitapun dapat menghukumi antara baik-buruk atas beberapa perbuatan. Banyak perbuatan seperti kejelekan khianat atau zalim manusia dengan merujuk pada naluri kemanusiaannya mampu menghukumi bahwa hal seperti itu jelek, sebagaimana menghukumi baik atas belaku adil dan berbuat baik. Semua itu bisa dihukumi oleh manusia -baik kaum ateis sekalipun- tanpa bantuan syariat atau teks agama.

2- Pengingkaran atas syariat; jika baik-buruk suatu perbuatan hanya bisa diketahui melalui syariat niscaya kita tidak akan mampu menghukumi baik-buruk segala perbuatan. Dengan kata lain jika manusia tidak bisa menghukumi baik-buruk dengan rasionya maka segala baik-buruk – walau dengan hukum syariat- akan ternafikan. Bagaimana mungkin sewaktu Rasul memberitahukan tentang kejelekan berbohong dan kebaikan berlaku jujur, sedang dari sisi lain – jika rasio kita tidak mengenal baik-buruk- lantas kita memberikan kemungkinan bahwa beliau – nauzubillah min zalik- sewaktu menjelaskan hal tersebutpun ada kemungkinan berbohong pula. Jika itu terjadi -munculnya kemungkinan-kemungkinan kebohongan Rasul- maka kitapun tidak akan bisa menerima baik-buruk hasil dari tuntunan syariat, karena selalu munculnya keraguan pada syariat.

3- Lemah dalam menetapkan masalah kenabian; sewaktu rasio manusia mengetahui bahwa berbohong adalah buruk dan harus dijauhkan dari Dzat Suci Ilahi maka dari situ kitapun akan bisa menghukumi bahwa Allah (swt) mustahil memberikan mukjizat -yang sebagai bukti kenabian- kepada nabi palsu (baca:pembohong). Rasio manusia mampu menghukumi bahwa kesaksian nabi sejati utusan Allah bisa dilacak kebenarannya melalui kemampuan mengeluarkan mukjizat, jika rasio manusia tidak mampu mendeteksi baik-buruk secara rasional niscaya muncullah kemungkinan-kemungkinan seperti pemberian mukjizat oleh Allah kepada pembohong…dst.

Inilah sekilas tentang permasalahan rasionalitas baik-buruk yang menjadi tumpuan utama pembahasan rasionalitas syariat. Sekali lagi yang perlu diingat dalam pembahasan ini adalah bahwa teori tentang rasionalitas syariat hanya bisa dicerna oleh individu yang menerima teori rasionalitas baik-buruk saja. Dengan kata lain teori rasionalitas baik-buruk adalah basic utama pembahasan tentang rasionalitas syariat. Tanpa menerima teori rasionalitas baik-buruk, maka teori rasionalitas syariat akan sulit untuk dicerna.

Agama dan Rasio:

Sebelum kita menginjak pembahasan utama, harus kita perjelas terlebih dahulu arti rasio (akal). Ada banyak pengertian dari istilah rasio ini, akan tetapi secara global istilah tersebut dalam diskursus agama bisa teringkas dalam dua pengertian:

a- Rasio teoritis (aql nazari); yaitu rasio yang hanya berhubungan dengan hal-hal teoritis yang berakhir pada justifikasi antara ada atau tiada-nya sesuatu. Dasar utama rasio ini bertumpu pada salah satu dari tiga hal: indera (hiss), emosi (wahm), imajinasi (khayal). Dimana hasil dari rasio teoritis berhubungan dengan realitas objektif (takwini) seperti tentang ketuhanan, kenabian, adanya Hari Aakhir…dst.

b- Rasio praktis (aql amali); yaitu rasio yang hanya berhubungan dengan hal-hal praktis yang berakhir pada justifikasi antara hal-hal harus dilakukan dan harus ditinggalkan-nya suatu tindakan. Dasar utama rasio ini bertumpu pada hal-hal sepeti: Gaira atau semangat (syahwah) dan emosi (ghadhab). Kedua hal inilah yang lantas mampu menghantarkan manusia kepada berbagai macam tingkatan kehendak (iradah) dan tekad. Sedangkan hasil dari rasio praktis berhubungan dengan realitas konvensional (i’tibari)[10] seperti: hak kebebasan, kepemilikan, perizinan…dst.

Lalu, bagaimana relasi di antara kedua jenis rasio itu? Jelas, tidak ada konsekuensi di antara kedua jenis rasio di atas. Tentu terdapat kemungkinan terhentinya rasio pada tingkatan tertentu, dimana rasio teoritis saja yang menjadi alasan suatu pekerjaan dan tanpa dibarengi dengan rasio praktis, hal itu mengakibatkan terbatasnya pengetahuan seseorang pada hal-hal yang bersifat inderawi atau insting saja. Sebagaimana adanya kemungkinan bahwa seseorang hanya mengandalkan emosi saja -yang menjadi obyek rasio praktis- dalam menentukan tujuan yang harus ia tempuh tanpa mengindahkan rasio teoritis. Dua kemungkinan diatas tadi walaupun bisa dikategorikan sebagai usaha rasionalisasi pengetahuan, akan tetapi kategori tersebut akan menjadi sempurna jika rasio teoritis menjadi pembimbing dalam menentukan sepak terjang indera, insting dan imajinasi. Rasio teoritis yang berfungsi sebagai detektor hal-hal universal dan rasio praktis sebagai yang mengarahkan emosi jika terjadi kerja sama yang baik antara kedua jenis rasio[11] tersebut, maka akan terwujudlah segala tujuan yang bersifat rasional secara sempurna.

Mungkinkah antara rasio dan agama dipisahkan? Kita bisa perhatikan hubungan antara satu dengan yang lainnya dalam pembahasan di bawah ini yang menunjukkan bahwa hubungan di antara keduanya adalah sejajar atau komplementer. Al-Quran yang sebagai dasar hukum agama sangat menekankan adanya relasi antara agama dan rasio. Dalam ayat 12 surat at-Thalaq – sekedar sebagai contoh- Allah SWT) menjelaskan akan penekanan-Nya pada rasio teoritis. Allah berfirman:”Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku pula kepadanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”

Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan bahwa tujuan penciptaan alam semesta adalah untuk meningkatkan keilmuan manusia. Sebagaimana yang telah disinggung, maka kita tahu bahwa usaha peningkatan kualitas maupun kuantitas keilmuan berada pada tanggungjawab rasio teoritis. Manusia sudah bisa dikatakan telah berhasil merealisasikan tujuan penciptaannya di saat ia telah mampu untuk memanfaatkan secara optimal potensi berpikir yang telah ia miliki dengan baik. Dengan berbekal rasio teoritis tadi, manusia akan dapat mampu untuk menyingkap banyak hal yang selama ini samar baginya.

Dalam ayat:56 dari surat az-Dzariyat Allah SWT berfirman:”dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. ayat ini menjelaskan tentang pentingnya rasio praktis -yang terwujud dalam perkara-perkara ibadah- sehingga disebut sebagai tujuan penciptaan golongan jin dan manusia. Segala bentuk ibadah tanpa didukung oleh rasio praktis tidak akan memenuhi standar kualitas yang diinginkan. Dengan kata lain, bahwa tanpa rasio praktis niscaya manusia tidak akan mampu menentukan tujuan yang benar dalam beribadah[12], dimana jika hal itu terjadi maka segala macam ibadah akan kehilangan fungsi utamanya yang transendental, yaitu penghambaan terhadap Allah.

Kita tidak bisa mengatakan bahwa jika tujuan penciptaan terpenuhi dalam relasi rasio praktis dan rasio teoritis, maka akan terjadi sesuatu yang paradoks. Dikarenakan antara kedua jenis rasio tersebut masing-masing memiliki peran positif dalam batasan-batasan tertentu. maka itu, tidak akan mungkin terjadi paradoks, sehingga jika salah satu telah ditetapkan maka yang lain tidak akan mungkin menafikannya.

Apakah rasio perlu terhadap agama sebagaimana agama perlu terhadap rasio? Sebagaimana agama -khususnya Islam- melihat rasio begitu sakral[13] sehingga diangkat sebagai salah satu sarana untuk mencapai hakikat kebenaran. Akan tetapi disisi lain, agama pun tidak melepaskan begitu saja rasio tanpa diberi tali kekang sehingga rasio bisa dikendalikan untuk meniti jalan yang benar dan mampu menghantarkan manusia pada penyingkapan hakikat yang selama ini samar. Islam dalam penyakralan rasio sampai pada batas bahwa rasio mampu untuk menyingkap beberapa hukum syariat dan mengategorikan rasio sebagai salah satu dalil paten (dalil qath’i) syariat[14].

Untuk lebih jelasnya pembahasan di atas, ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi, secara ringkas kita bisa sebutkan disini bahwa:

1- Kita -kaum muslimin- yakin bahwa tolok ukur syariat agama adalah hukum Allah SWT.

2- Sumber utama hukum Allah tiada lain adalah kehendak Allah (iradatullah) sebagai Dzat yang memiliki kesempurnaan dan kekusaan yang absolut.

3- Hanya melalui dalil-dalil syariat kita bisa menggali dasar hukum syariat Ilahi yang sesuai dengan kehendak-Nya.

4- Dalil syar’i mencakup teks agama (nash) dan rasio[15], dimana teks agama mencakup ayat dan riwayat para maksum[16].

Konklusi dari empat perkara -yang sekaligus sebagai premis – di atas adalah bahwa sebagaimana teks agama maka rasio pun memiliki kelayakan sebagai argumen syariat, yakni bahwa rasio pun mampu menyingkap sebagian hukum Allah SWT.

Ada satu hal yang perlu dicatat dalam memahami istilah yang sering kita pakai di sini ialah anggapan bahwa antara agama dan akal (rasio) dua hal paradoksikal merupakan suatu kesalahan besar, karena agama merupakan kumpulan dari pengetahuan manusia baik yang bersumber dari teks agama maupun dari rasio. Dari situ maka, agama bukanlah lawan dari rasio sebagaimana yang dipahami sebagian orang. Dengan kata lain, kebenaran agama harus ditetapkan melalui argumen tekstual agama itu sendiri dan argumen rasional secara bersamaan. Sebagaimana banyak ayat[17] yang menjelaskan akan perlunya menggunakan akal dalam kehidupan kita, maka perintah tersebut menunjukkan bahwa akal merupakan salah satu referensi Ilahi (hujjatullah).

Perlu ditambahkan bahwa kita mengetahui -berdasarkan pada argumen ajaran agama dan rasio- hakikat manusia bukanlah materi kasar yang terdiri dari panjang, tinggi dan lebar ini, akan tetapi hakekat manusia dinilai dari sesuatu yang berada dibalik badan materi kita. Hakekat tersebut akan bisa dikatakan sempurna jika dibekali dengan pengetahuan yang baik dan benar lantas dibarengi dengan usaha keras dalam mengaplikasikan apa yang sudah dipahami. Pengetahuan yang baik dan benar itu hanya bisa didapat melalui pertama: akal dan kedua: wahyu. Bahkan, pengakuan akan wahyu pun didasari oleh penerimaan terhadap akal. Akal harus berkhidmat kepada manusia dalam menghantarkannya menuju kesempurnaan manusia.

Imam Ja’far as-Shodiq AS pernah mendefinisikan akal -praktis- dengan ungkapan: “sesuatu yang dengannya Allah disembah, dan dengannya yang bisa menghantarkan manusia pada sorga” (Ushul Kafi, jild1:11). hal diatas bisa kita korelasikan dengan ayat yang menjelaskan tentang makhluk yang zahirnya manusia, akan tetapi karena tidak menggunakan akalnya maka ia terjerumus ke lembah hewani dan menjadi lebih hina dari binantang. Ayat itu berbunyi: “Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi” (Qs al-A’raaf:179) itu sebagai bukti bahwa betapa besar peran akal dalam menghantarkan manusia agar sampai pada kesempurnaan; kesempurnaan esensial manusia sehingga ia tidak terjerumus kelembah hewani.

Dalam logika memahami Al-Quran, kita diajari bahwa sebelum kita masuk dalam pembahasan cara memahaman Al-Quran, terlebih dahulu kita harus mengerti mukadimah ilmu Al-Quran yang tercakup dalam ulumul-Qur’an[18]. Begitu pula halnya yang berkenaan dengan argumen- argumen rasional, sebelum kita mengetahui berbagai kaidah dan konsep rasional, kita harus ketahui terlebih dahulu tentang Rasiologi yang membahas tentang pengenalan tentang ilmu-ilmu rasional. Dalam ilmu ini, kita akan dikenalkan terlebih dahulu jawaban-jawaban menyangkut persoalan seperti: Apakah yang dimaksud dengan rasio (akal)? Adakah rasio suatu yang materi atau non-materi? Sampai dimana kita bisa mengenal akal?…dst. kalau sudah kita lalui pembahasan tersebut, maka kita akan masuk pembahasan tentang kaidah dan konsep-konsep rasional seperti: Apakah mungkin bertemunya dua hal yang kontradeksi? Apakah pemberian tanggungjawab yang berat pada individu lemah merupakan kebaikan (taklif bima la yuthoq)? Apakah kezaliman secara esensial merupakan keburukan?…dst.

Jka kita telah memahami tentang tiga pembahasan yang berkaitan dengan akal sebagaimana yang tercantum dalam topik-topik dibawah ini:

1- Pengenalan akan rasio.

2- Perbedaan antara kepastian logis (yakin) dan kepastian psikologis (emosional)[19].

3- Kelebihan rasio yang sebagai pelaku (sumber) hukum diatas rasio sebagai obyek yang memahami hukum.

Maka akan nampak bagi kita tentang adakah pernyataan akal sesuai dengan pernyataan agama, atau dengan kata lain adakan argumen akal sesuai dengan argumen teks agama? Mari kita perhatikan contoh ini; berkenaan dengan kemerdekaan dalam ayat Al-Quran disebutkan:

“…Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman …” (Qs an-Nisaa’:141) dari sini kita ketahui betapa teks agama sangat menekankan akan kemerdekaan bangsa -yang berarti berhubungan langsung dengan dengan kebijakan politik, budaya, ekonomi dan hankam sebuah negara- sedang disisi lain akalpun menghukumi tentang “kebaikan sebuah kemerdekaan” hal ini semua menunjukkan bahwa adanya kesesuaian antara argumen akal dan teks agama.

Akal dan teks agama ibarat dua sayap bagi agama. Keseimbangan agama amat bergantung pada keberadaan dua sayap tersebut, jika salah satu lumpuh maka agama tidak akan bisa memiliki keseimbangan dengan baik atau bahkan akan membahayakan agama itu sendiri. Dengan memperhatikan argumen teks agama, maka argumen akal pun akan dapat memberi keseimbangan pada agama itu sendiri, sehingga sebagaimana teks agama bisa menjadi dasar hukum agama maka akal pun bisa pula dikategorikan sebagai dasar hukum agama.

Sampai dimana akal bisa menjadi dasar hukum agama? Untuk menjawab pertanyaan tersebut marilah kita lihat beberapa permasalahan dibawah ini yang lantas kita hubungkan dengan argumentasi rasional:

1- Dalam pembahasan ushuluddin kita harus mendahulukan argumen rasional dari teks agama terkhusus dalam masalah penetapan keberadaan Allah yang sebagai dasar dari pembahasan tauhid. Karena bagaimana mungkin kita akan menggunakan argumen teks agama dalam keberadaan Tuhan sedang keberadaan Dzat yang menurunkan teks agama masih belum kita tetapkan? Begitu pula tentang perlunya sebuah agama. Akal akan mengatakan bahwa manusia perlu bimbingan agama. Rasio dalam bagian hikmah teoritis akan mengatakan bahwa komunitas manusia perlu bimbingan wahyu, dimana wahyu tersebut diturunkan hanya kepada “manusia Ilahi” atau sering diistilahkan dengan manusia sempurna (the perfect man). Rasio manusia dalam pembahasan hikmah teoritis juga mengatakan bahwa dengan menentang ajaran manusia sempurna tadi berarti ia telah menghalangi perkembangan dari proses kesempurnaan manusia itu sendiri. Dengan kata lain akal manusia dalam pembahasan hikmah teoritis menekankan akan perlunya pengutusan seorang nabi, sedang pada hikmah praktis menekankan akan perlunya ketaatan pada ajaran para nabi yang berarti melancarkan proses kesempurnaan manusia.

2- Dalam beberapa pembahasan yang berkaitan denga ajaran agama sering kita dapati bahwa adanya relasi antara argumen akal dan teks agama -sebagaimana contoh yang telah kita singgung diatas- dimana satu dengan yang lain saling menguatkan.

3- Danyak pembahasan dalam disiplin ilmu ushul-fiqh kita dapati bahwa argumen akal terletak pada barisan belakang dari argumen teks agama. Seorang mujtahid (baca:mufti) dalam menggali dasar hukum syariat jika terbentur pada suatu yang disebut sebagai “ma la nassha fiihi” (yang tidak didapat teks agama yang menjelaskannya) maka tugas orang tersebut adalah ia harus melarikannya pada argumen rasional yang mencakup baro’at (exemption), ihtiyath (tindakan hati-hati), takhyiir (pilihan) atau nafyul-haraj wa dharar (penafian segala kesulitan dan bahaya).[20]

Dari sini telah kita ketahui kedudukan rasio dalam ajaran Islam dari masing-masing bagian ajaran agama sehingga tidak ada percampur-adukan antara posisi rasio dan teks agama. Dalam ilmu logika telah kita ketahui bahwa dalam setiap pembuktian (baca:berargumen) pasti diperlukan premis-premis yang jelas sehingga menghasilkan suatu konklusi yang jelas pula yang sesuai dengan premis tersebut. Hubungan antara premis dan konklusi dalam sebuah sillogy adalah tugas akal, walau premis-premisnya tersusun dari argumen-argumen tekstual agama sekalipun.Oleh karenanya dalam contoh dari hukum kewajiban sholat dan kewajiban wudhu’ sebagai mukadimah bagi sholat maka akal menghukumi bahwa “jika sesuatu diwajibkan maka pelaksanaan mukaddimahnya -karena tanpa mukaddimah obyek tidak akan terwujud- wajib pula hukumnya”. Maka meninggalkan wudhu bagi seseorang menjadi haram disaat shalat diwajibkan atas diri seseorang tersebut.

Adakah semua ajaran agama memiliki potensi untuk dirasionalisasikan? Tentu sebagaimana yang telah singgung diatas -sebagai jawaban dari soalan tersebut- bisa kita tambahkan bahwa yang mampu untuk dideteksi oleh argumentasi akal adalah sesuatu yang memiliki eksistensi saja, sedang hal-hal yang non-eksistensial tidak memiliki potensi untuk diargumenkan. Begitu pula hal-hal yang hanya didapat pada individu tertentu -seperti kecenderungan yang berdasarkan pada selera- pun tidak dapat diargumen-rasionalkan karena sifatnya particular dan berubah-rubah (baca:berbeda-beda) pada masing-masing individu.

Dikarenakan segala ajaran agama memiliki muatan eksistensial -baik dialam materi maupun methaphysic- dan bukan berupa hasil kecenderungan selera manusia maka hal itu memberikan konsekuensi bahwa ajaran agama bisa diargumenkan. Sebagai bukti dari statemen diatas adalah bahwa para nabi dan rasul (as) mereka dalam menyebarkan ajaran Ilahi dimulai dengan mengajarkan ajaran tersebut kepada umat manusia dan dilanjutkan dengan pemberian argumen kepada setiap individu yang mempertanyakan kebenaran ajaran tersebut. Pemberian argumen merupakan sarana bagi para nabi dan rasul dalam menjaga kebenaran ajaran Ilahi secara ilmiah dihadapan para penanya. Pembahasan lebih detail akan kita perinci pada pembahasan selanjutnya.

Relasi antara Fiqih dan Sains:

Kita ketahui bahwa fiqih dan sains[21] adalah dua bentuk pengetahuan yang berbeda, namun disini kita akan teliti relasi kedua macam pengetahuan tersebut. Adakah fiqih mampu bersanding dengan sains? Bagaimana hubungan diantara keduanya? Sebagian beranggapan bahwa fiqih mengikuti ilmu sainstis, dengan perincian bahwa karena “fiqih bertugas sebagai penjelas hukum suatu obyek” sedangkan “penentuan obyek hukum dilakukan oleh sains” maka dikarenakan hukum mengikuti obyeknya niscaya sewaktu obyek hukum tiada maka dengan otomatis hukumpun akan tiada karena eksisrensi obyek hukum harus terlebih dahulu jika dibanding dengan hukum itu sendiri. Konklusi dari mayor dan minor diatas adalah bahwa perkembangan hukum fiqih mengikuti sains yang konsekuensinya adalah bahwa seorang mufti (faqih) harus mengikuti ilmuwan dalam mencari obyek hukum, yang berarti bahwa ilmuwanlah sebagai tonggak utama dalam menentukan banyak hal dari kehidupan manusia.

Dari argumentasi diatas jelas sekali adanya fallacy dalam penjelasan premis akhir dimana kita bisa perhatikan tentang bagaimana mereka menjelaskan bahwa obyek hukum seakan menjadi efficient cause (illah fa’iliah) suatu hukum sedang hukum sebagai akibat dari obyek. Sewaktu kita menerima ungkapan tersebut maka konsekwnsinya adalah bahwa kita telah menggeser kedudukan Allah SWT)[22] sebagai penentu (baca:causa) hukum. Oleh karena itu jika kita katakan bahwa eksistensi obyek hukum sebagai sebab (causa) munculnya hukum maka causa disini adalah preparing cause (illah qobiliah)[23]. Dengan kata lain bahwa hukum bukanlah akibat (efect) dari suatu obyek hukum, akan tetapi ia adalah efect dari kehendak-Ilahi yang menjadi causa prima hukum syariat, sedang obyek hukum tidak lebih hanya sekedar sebagai sarana saja. Oleh karena hanya kehendak-Ilahi yang menjadi penyebab utama hukum syariat, dan dikarenakan fiqih berfungsi sebagai penjelas hukum maka ia harus mengikuti kehendak-Ilahi pula.

Pertentangan antara teks agama dan rasio:

Sebelum kita masuk pada pembahasan ini, terlebih dahulu kita ingatkan bahwa sudah menjadi keharusan dalam pembahasan ini untuk memisahkan antara rasio dan pemakai rasio (subyek). Dengan kata lain kita harus bedakan antara deteksi rasio dan deteksi pemakai rasio. Deteksi rasio bisa dipastikan kebenarannya sedang deteksi pemakai rasio belum tentu kebenarannya karena tergantung sampai dimana ia mampu memegang teguh kaidah-kaidah argumentasi rasional yang tertuang dalam ilmu logika.

Sebagian orang beranggapan bahwa agama bukan hanya tidak menerima rasio, bahkan mereka beranggapan bahwa agama dan rasio dua hal yang saling bertentangan dan tidak mungkin bisa ditemukan (paradoksikal). Mereka yang mengatakan hal tersebut jelas sekali menunjukkan bahwa mereka tidak mengetahui bahwa rasio yang mampu mendeteksi ajaran agama bukanlah sembarang rasio. Karena kita tahu bahwa rasio walau bisa mendeteksi beberapa persoalan agama namun iapun dalam beberapa bagian memiliki batasan-batasan yang tidak bisa dilanggar dan itupun dipahami pula oleh rasio manusia sendiri. Sehingga dari pemahaman semacam itulah akhirnya rasiopun menghukumi bahwa karena dirinya terbatas maka manusia memerlukan pembimbing lain untuk sampai pada tujuan kesempurnaan manusia.

Dikarenakan manusia ibarat musafir yang akan menuju kepada kehidupan abadi maka pembimbing yang diperlukan manusia agar dapat menghantarkannya kesana adalah yang memiliki kemampuan diatas rasio. Akal sendiri mengatakan bahwa manusia harus taat kepada pembimbing tersebut yang mampu menghantarkannya pada tujuan aslinya yaitu kehidupan abadi. Segala masalah yang berhubungan dengan keabadian merupakan masalah particular yang diluar kapasitas akal untuk memahaminya. Hukum-hukum rasional hanya berhubungan dengan hal-hak yang universal -yang terdapat ketetapan- saja sedang hal-hal particular -yang selalu berubah- diluar batas kemampuannya. Oleh karenanya akal mengatakan bahwa pada hal-hal particular inilah manusia perlu bimbingan wahyu (syariat) yang dibawa oleh manusia maksum (suci) dimana hal itulah yang akan membimbing umat manusia dalam kehidupannya agar sampai pada tujuan aslinya yaitu kenikmatan abadi. Disini akal tahu bahwa itu semua diluar kapasitasnya sehingga ia sendiri tidak akan campur tangan -juga karena mustahil mampu- dalam urusan tersebut. Akal memahami bahwa manusia memiliki tujuan abadi dan kematian bukanlah akhir segalanya sehingga ada sesuatu dibalik kematian.

Disisi lain akal mengakui kelemahannya dalam mengamati bagaimana tata-cara menjangkau kehidupan abadi dan apa saja dibalik kematian. Akibat dari pemahaman dan pengakuan akal diatas tadi maka seakan akal mengatakan bahwa “aku perlu seorang pembimbing yang mampu memberi masukan tentang hal-hal yang diluar kemampuanku, pembimbing itu adalah manusia sempurna yang mendapat wahyu dari Allah”. Lantas dari sini apakah mungkin bagi akal yang telah mengatakan itu semua kemudian disisi lain akal menyerukan bertentangan dengan pembimbing tersebut? Akal anda pasti bisa merenungkan atas jawaban pertanyaan itu.

Sebagian orang berusaha mengakal-akali beberapa hukum syariat dan berusaha merasionalkannya. Jelas oknum-oknum semacam ini telah melakukan kezaliman, Mereka telah memperkosa akal untuk memenuhi hasrat “nafsu ilmiah” mereka, padahal akal telah mengumumkan ketidakmampuannya, bagaimana ia akan memaksa akal untuk melakukan sesuatu yang diluar kapasitas akal ? Lagi pula terdapat fallacy (mughalathoh) pada diri oknum- oknum tersebut dalam masalah membedakan antara akal (rasio) dan wahm (imajinasi). Karena mereka tidak bisa membedakan kedua hal tersebutlah akhirnya mereka terjerumus pada kesalahan dalam menentukan kebenaran, dan hal tersebut berakhir pada kesalahan dalam memberikan konklusi. Salah satu bentuk kesalahan tersebut ialah mereka beranggapan bahwa antara akal dan agama saling terjadi paradoks. Padahal jika mereka tidak terjerumus pada fallacy maka mereka tidak akan mempunyai kesimpulan semacam itu pada hubungan akal dan agama.

Dari sini jelas sekali bahwa untuk memahami ajaran agama akal/rasio merupakan sarana yang sudah menjadi keharusan tapi hal tersebut bukan berarti bahwa akal tadi adalah satu-satunya sarana. Karena ajaran agama mencakup segala hal yang bersifat representatif (ilmu hushuli) – termasuk di dalamnya hal-hal empirikal- dan yang bersifat persentif (ilmu hudzuri), sedang akal hanya memiliki kapasitas pada ilmu empiric saja. Maka, yang berkaitan dengan ilmu presentif diluar kemampuan akal (suprarasional) sehingga akal tidak mampu untuk memberi bimbingan pada disiplin ilmu tersebut. Tentu bukan berarti akal sama sekali tidak mampu. Tetapi jika setelah diadakan beberapa proses penyederhanaan maka akal akan mampu mendeteksi ilmu presentif tersebut. Hanya dengan melalui proses penarikan ilmu presentif kepada konsep umum yang universal niscaya akal mampu memahaminya dan memberikan argumen rasional.

Sebagaimana yang telah singgung diatas tadi bahwa akal/rasio hanya mampu mendeteksi hal-hal universal saja. Dikarenakan syariat ajaran Islam banyak berkaitan dengan hal-hal particular maka hal itu diluar kapasitas akal sehingga dari situ manusia memerlukan wahyu -yang bersumber dari alam ghaib sebagai pembimbingnya. Oleh karena itu jelas akal/rasio tidak akan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti; kenapa sholat subuh hanya dua rakaat saja? Kenapa puasa dimulai dari terbitnya fajar sampai tenggelamnya matahari? Kenapa hukum waris wanita dan lelaki dibedakan? Kenapa hanya muka dan telapak tangan wanita yang hanya boleh diperlihatkan?…dst. Jika yang ditanyakan adalah berkaitan dengan penyebab dalam arti causa maka itu diluar kapasitas akal/rasio manusia untuk mendeteksinya, tapi jika yang ditanyakan adalah penyebab dalam arti hikmah dibalik itu maka kita bisa mencari-cari hikmah yang ada, dalam pembahasan yang sudah lalu sudah kita singgung perbedaan antara penyebab yang berarti “causa” dengan yang berarti “hikmah”.

Sebagian mereka juga menyatakan bahwa ajaran-ajaran agama perlu diimani, dan yang berkaitan dengan iman -karena berkaitan dengan hal-hal yang particular dan sesuai dengan selera masing- masing- tidak bisa dipantau dengan argumen rasional. Dalam menjawab problem tersebut bisa kita katakan bahwa; memang benar bahwa iman berkaitan dengan hal-hal obyektif dan yang bersifat particular, akan tetapi dikarenakan semua hal obyektif dan particular merupakan ekstensi dari konsep universal maka melalui konsep universal itulah kita dapat merasionalkan keimanan tersebut. Para nabi dalam menyebarkan keimanan mereka menggunakan argumen maka jika iman tidak bisa diargumenkan maka sia-sia para nabi memberikan argumen buat mereka, atau mungkinkah argumen para nabi tersebut tidak masuk akal sedang dalam Al-Quran disebutkan bahwa argumen tersebut menjadi pelajaran bagi para “ulil-albab” (baca: yang berakal).

Akan tetapi anggapan bahwa keimanan berkaitan dengan hal yang sesuai dengan selera masing- masing individu, jelas bahwa anggapan itu tidak benar karena jika benar apa yang mereka dakwakan maka hal itu bertentangan dengan kenyataan yang ada. Kalaupun pendapat itu benar maka bisa kita katakan bahwa obyek keimanan adalah suatu hal yang riil yang memiliki eksistensi obyektif (realita di luar), dan segala hal yang memilki realita luar pasti memiliki potensi untuk ditetapkan kebenarannya, baik melalui cara empirikal, inderawi, bukti historis atau secara rasional.

Dari sini terjawablah sudah problem yang dikemukan oleh kaum Brahmana yang mengatakan bahwa; muatan ajaran agama dan wahyu tidak lepas dari dua kemungkinan rasional atau irrasional. Jika ternyata ajaran tersebut bermuatan hal-hal yang irrasional maka berarti ajaran tersebut batil dan manusia tidak memerlukan ajaran yang batil. Jika ajaran tersebut rasional maka dengan berbekal rasio manusia mampu mencari sendiri ajaran-ajaran tersebut tanpa perlu lagi kepada wahyu/agama.

Pengingkaran agama dengan argumen semacam itu tentu tidak bisa begitu saja bisa diterima. Ada beberapa hal yang mereka lupakan;

1- Kehidupan tidak hanya terbatas pada kehidupan duniawi yang materi[24].

2- Keterbatasan akal dalam mendeteksi beberapa pengetahuan terkhusus hal-hal yang bersifat particular.

3- Adanya beberapa pengetahuan yang bersifat supra-rasional sehingga manusia memerlukan pembimbing lain yang mampu menunjukkan hal-hal tersebut, dimana hal ini -tentang pentingnya pengutusan seorang nabi/rasul- secara global rasio manusiapun telah mengetahuinya.

Kini giliran kita yang akan menanyakan kepada mereka; manusia hidup sebagai hamba yang diperintah oleh Tuhan untuk melakukan beberapa perbuatan yang sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan sehingga bisa menghantarkan kepada kenikamatan abadi. apakah mungkin hanya berbekal rasio saja manusia akan bisa menyingkap tata cara segala perbuatan yang dikehendaki oleh Tuhan guna mencapai kebahagiaan abadi sebagaimana yang dijanjikan? Tentu jawabnya negatif bukan? Karena sebagaimana telah kita kemukakan bahwa rasio/akal hanya mengindera hal-hal universal saja yang dalam hal ini adalah “mensyukuri segala nikmat Ilahi” sedang bagaimana cara kita bersukur, hal itu diluar kapasitas akal karena bersifat particular.

Oleh karena itu dari sini kita mengetahi bahwa tugas atau hubungan wahyu/agama berkenaan degan rasio manusia adalah mencakup hal-hal sebagai berikut:

a- Wahyu melegalisir rasio; tentu pelegalisiran berlaku disaat rasio manusia memiliki kemampuan dalam mendeteksi hal yang perlu dilegalisir. Pelegalisiran ini berfungsi sebagai penekanan akan keputusan rasio, karena boleh jadi akan dipertanyakan fungsi pelegalisiran itu. Memang walaupun tanpa wahyu rasio dapat mengungkapkannya akan tetapi dalam kelanjutan pengargumentasian pengguna rasio (manusia) atas hal tersebut tidak jarang “rasio” terjerumus dalam kesalahan, oleh karenanya perlu adanya pelegalisiran tersebut. Tentu -sebagaimana yang sudah kita singgung- akal/rasio tidak mungkin salah akan tetapi apakah pengguna akal juga dijamin kebenarannya? Hal inipun sekaligus bisa sebagai jawaban atas problem yang dilontarkan kaum bhrahman.

b- Wahyu mengarahkan rasio; hal tersebut dilakukan jika ternyata rasio/akal tidak memiliki keindependenan dalam mendeteksi suatu problem. Segala hal yang bersifat supra-rasional – karena keparticularannya sehingga diluar kapasitas rasio- maka tugas wahyulah yang menjelaskan.

Tinggalkan komentar